Mohon tunggu...
Teuku Azhar Ibrahim
Teuku Azhar Ibrahim Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Program Manager FDP

Lahir di Sigli Aceh, Menyelesaikan study bidang Filsafat di Univ. Al Azhar Cairo. Sempat Menetap Di Melbourne dan berkunjung ke beberapa negara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Logika Tukang dalam Menentukan Calon Legislatif

5 Maret 2024   07:28 Diperbarui: 5 Maret 2024   07:28 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Pada negara demokrasi dikenal pepatah "Vox Populi -- Vox Dei", artinya suara rakyat adalah suara Tuhan, karena suara rakyat akan menentukan masa depan bangsa. Suara rakyat akan menentukan siapa wakil-wakil rakyat yang akan mewakili kepentingan mereka di parlemen maupun pada saat menentukan siapa yang akan duduk pada tampuk pimpinan pemerintahan untuk kurun waktu tertentu. Adagium  atau pepatah tersebut berlaku pada negara demokrasi denga n masyarakat berpendidikan tinggi serta memiliki pendapatan perkapita yang masuk kategori kelas menengah ke atas.

Pada negara demokrasi berpendidikan rendah dan berpendapatan terbatas, suara rakyat seringkali dimanipulasi oleh para elit politik maupun elit pemerintahan. Rakyat dengan mudah dimanipulasi untuk memilih tokoh-tokoh yang berparas tampan, atau tokoh selebriti karena sering muncul di televisi. Rakyat dengan kondisi semacam itu akan mudah digiring dengan isyu-isyu bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan), sehingga tidak mampu menggunakan suaranya secara obyektif. Pada sisi lain, partai politik umumnya belum menjalankan pendidikan politik secara masif dan berkelanjutan agar rakyat menjadi "paham politik". Karena demikian berharganya suara rakyat dalam sistem demokrasi, untuk kasus Indonesia, hampir tidak ada Lembaga yang menjalankan fungsi tersebut, bahkan periode kekuasaan Jokowi Lembaga Pendidikan tinggi yang identik dengan gerbong untuk menjadi guru politik bagi masyarakat awam terkesan diam dan terbelunggu, kecuali hari-hari terakhir ada suara para rektor untuk mengkritisi perjalan kekuasaan rezim Jokowi.

Perilaku Pemilih Teori dan Praktek

Menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat, dilihat dari kuantitas rakyat yang menggunakan hak suaranya, belum pada kualitas demokrasinya. Oleh karena itu berbagai tulisan tentang demokrasi Indonesia yang ditulis oleh ahli-ahli dari Indonesia perlu didukung penerbitannya. Sudah saatnya negara Indonesia memberi kontribusi pemikiran untuk kepentingan dunia, bukan hanya sebagai konsumen saja. Banyak best practice maupun bad practice demokrasi di Indonesia  yang dapat dijadikan contoh bagi negara lain. Penggunaan sistem "one man- one vote" dalam demokrasi di Indonesia menggantikan sistem musyawarah dan mufakat telah menimbulkan dampak negatif  berupa terjadinya politik uang (money politics). Rakyat yang berpendidikan rendah dan berpendapatan terbatas diberi iming-iming uang, bahan makanan dan sejenisnya agar mau menggadaikan kedaulatannya kepada mereka yang memiliki uang.

Apabila praktek semacam ini dibiarkan, maka demokrasi di Indonesia akan bermutasi menjadi plutokrasi, yakni pemerintahan oleh orangorang berharta, karena yang dapat mencalonkan jadi pemimpin nasional maupun daerah hanyalah orang-orang kaya atau orang yang didukung oleh orang-orang kaya. Tidaklah berlebihan apabila Huffington menyebutkan bahwa sistem "one man-one vote" telah berubah menjadi "one dollar-one vote."

Ada kaitan yang erat antara politik uang dengan perilaku wakil-wakil rakyat di parlemen dan pemimpin pemerintahan. Mereka yang duduk dengan menggunakan uang mengalami defisit moral dalam menjalankan tugas sucinya sebagai wakil rakyat. Tidaklah berlebihan apabila Tullock, Seldon, and Brady (2013) dalam bukunya "Government Failure" mengkritik sistem demokrasi dengan membuat formula baru yakni : "  It is government " of the Busy ( political activists), by the Bossy (government managers), for the Bully (lobbying activists). Formula baru ini menggantikan formula Abraham Lincoln dengan pandangan "The Gettysburg Formula" yang menyebutkan bahwa demokrasi adalah : "Government of the people, by the people, for the people". Fakta pemilih Indonesia mendorong civitas akademis untuk menelaah setiap perkembangan  perilaku pemilih di Indonesia untuk menjaga keberlangsungan demokrasi di Indonesia yang masih muda dan rapuh.  

Perilaku Pemilih Teori dan Praktek 

pada era demokrasi saat ini, terlebih lagi setelah revolusi informatika dan telekomunikasi yang melanda dunia kemudian menciptakan cyberdemocracy, yakni demokrasi yang berbasis pada IT. Cyberdemocracy itu sendiri akan mendorong munculnya cyber-decentralization yang bertumpu pada kekuatan warga negara (citizen).  Penyampaian aspirasi ataupun petisi yang selama ini disalurkan melalui para wakil-wakilnya yang ada di parlemen, secara bertahap akan disalurkan melalui petisi online, seperti change.org dan lain sebagainya.

Perubahan perilaku pemilih perlu dicermati secara sungguh-sungguh oleh partai politik maupun calon pemimpin yang akan tampil melalui jalur independen. Fenomena Anies yang akan maju dalam pertarungan kursi nomor 1 di Indonesia yang bukan kader partai  yang kemudian dipinang oleh NASDEM,  kemudian didukung PKS dan menyusul partai-partai lain termasuk PKB berbasis NU. Anies gabung Muhaimin dengan singkatan Amien terus menguat dengan menampilkan profil Anies lewat medsos. Awalnya sulit sekali mendapat ruang di televisi mainstream yang cendrung fokus menyuarakan suara penguasa dan juru bayar raksasa yang berada dalam kualisi kekuasaan.

Fakta membuktikan medsos mampu menyaingi peran media-media audio visual yang telah eksis sejak lama. Kemudian disebut dengan demokrasi dunia siber yang lebih bebas dari ikatan organisasi formal.  Seperti dikemukakan oleh Kakabadse dkk sebagai editor buku "Citizenship -- A Reality Far From Ideal" (2009),  yang mengatakan konsep kewarganegaraan, bergerak dari "political citizenship" yang dikembangkan jaman Aristoteles pada era empat abad sebelum Masehi   menuju era "virtual citizenship" yang berbasis pada internet.

Mengenali Perilaku pemilih Studi tentang perilaku pemilih pada dasarnya masih merupakan persoalan baru dalam konteks politik di Indonesia. Di Amerika Serikat sendiri, kajian tentang perilaku pemilih dalam bidang ilmu politik baru muncul tahun 1937 yang ditandai dengan terbitnya buku "Political Behavior: Studies in Election Statistics" karya Herbert Tingsten. Sebab, sebelumnya banyak ilmuwan politik di Amerika yang memfokuskan dan lebih puas dengan metode penelitian ilmu politik tradisional, seperti analisis tekstual filsafat politik, proses pembuatan kebijakan legislatif, deskripsi-deskripsi tentang lembaga-lembaga politik, dan semacamnya. Oleh karenanya, dalam konteks ini, munculnya penelitian-penelitian tentang perilaku pemilih dalam kajian ilmu politik merupakan reaksi atau pemberontakan atas ketidakpuasan terhadap penelitian-penelitian tradisional tersebut. Kajian sebelumnya dapat digunakan sebagai sumber informasi dan juga sebagai acuan dalam penelitian ini. Penelitian Hernoe [1994] dan suwondo [1997] tentang perilaku pemilih perkotaan memperkuat kesimpulan Gaffar [1992] yaitu orientasi sosio religius mempunyai korelasinya terhadap perilaku pemilih partai dengan latarbelakang ideologis. Santri cenderung memilih partai Islam dan kaum abangan memilih partai yang tidak membela dan memajukan Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun