"Ada masa ketika aku merasa kehilangan arah. Bukan karena tidak punya tujuan, tapi karena aku ragu pada langkah yang kuambil. Rasanya seperti berdiri di persimpangan yang kabutnya tebal, ingin maju tapi takut salah arah. Aku mencoba meyakinkan diri, tapi semakin keras aku berusaha percaya, semakin besar juga rasa tidak yakinku. Hingga aku mulai merenung, apakah ragu selalu berarti lemah, atau mungkin ia justru bagian dari perjalanan menuju keyakinan yang lebih dalam?"
Kita sering diajarkan untuk selalu yakin sama pilihan sendiri untuk tidak menoleh ke belakang, untuk melangkah dengan penuh kepastian. Nampaknya, hidup tidak sesederhana itu.Â
Terkadang, ragu justru datang sebagai ruang jeda ruang untuk menenangkan pikiran yang terlalu cepat mengambil kesimpulan, dan hati yang belum sempat mendengar suara Tuhan dengan jernih.
Ragu membuat kita melambat. Dalam perlambatan itu, kita mulai melihat hal-hal yang dulu terlewat alasan, makna, bahkan arah yang sebenarnya kita cari.
Ragu Bukan Lawan dari Iman
Banyak orang takut dengan rasa ragu. Mereka menganggapnya sebagai tanda kurang iman atau bukti bahwa hati sedang jauh dari kepercayaan.Â
Padahal, justru dari keraguanlah iman bisa tumbuh. Iman yang sejati tidak dibangun dari kepastian yang tidak pernah digoyahkan, melainkan dari keberanian untuk tetap berjalan meski kabut belum tersingkap seluruhnya.
Ragu bukan berarti kita kehilangan arah, tapi kita sedang belajar membedakan antara suara ketakutan dan suara kebenaran.Â
Kadang, dua suara itu terdengar mirip seperti sama-sama berbisik di dalam kepala. Tapi lewat waktu dan keheningan, kita akan tahu, mana yang menghakimi dan mana yang menuntun.
Keraguan menguji kesabaran kita dalam menunggu jawaban yang tidak instan. Ia mengajarkan bahwa kebenaran bukan hal yang harus ditemukan segera, melainkan hal yang disadari perlahan.Â