Di usia 20-an, hidup sering terasa seperti lomba maraton tanpa garis finish yang jelas. Semua orang terlihat sibuk mengejar sesuatu: karier cemerlang, penghasilan stabil, pasangan ideal, atau pencapaian yang bisa dibanggakan di media sosial.
Tekanan itu datang bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam diri sendiri. Kita ingin membuktikan bahwa kita “sudah sampai” di titik tertentu, padahal sering kali kita belum tahu arah yang sebenarnya ingin dituju.
Namun, apakah benar hidup harus diukur dari seberapa cepat kita mencapai sesuatu? Ataukah kita sedang meminjam standar sukses orang lain tanpa sadar kehilangan makna dari apa yang kita jalani?
Ambisi yang Lahir dari Perbandingan
Tidak ada yang salah dengan memiliki ambisi. Justru, ambisi bisa menjadi bahan bakar yang membuat kita terus berkembang. Tapi masalah muncul ketika ambisi itu lahir bukan dari keinginan tulus, melainkan dari perbandingan.
Kita mulai menilai hidup melalui pencapaian orang lain: teman seangkatan yang sudah punya bisnis, rekan kerja yang naik jabatan lebih cepat, atau teman lama yang sudah menikah dan punya rumah. Di titik itu, ambisi berubah jadi tekanan.
Perbandingan membuat kita merasa tertinggal, padahal setiap orang punya waktu tumbuh yang berbeda. Apa yang terlihat “terlambat” di mata orang lain bisa jadi waktu terbaik versi kita.
Ketika fokus hidup hanya diarahkan untuk mengejar validasi sosial, kebahagiaan perlahan bergeser menjadi angka, status, dan pencapaian yang terus berubah.
Membedakan Pencapaian dan Pemenuhan
Sering kali, kita terjebak dalam pola pikir bahwa sukses berarti harus punya sesuatu yang bisa dilihat. Seperti pekerjaan tetap, tabungan besar, atau pengakuan publik.