Di usia 20-an, hidup sering terasa seperti lomba maraton tanpa garis finish yang jelas. Semua orang terlihat sibuk mengejar sesuatu: karier cemerlang, penghasilan stabil, pasangan ideal, atau pencapaian yang bisa dibanggakan di media sosial.
Tekanan itu datang bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam diri sendiri. Kita ingin membuktikan bahwa kita “sudah sampai” di titik tertentu, padahal sering kali kita belum tahu arah yang sebenarnya ingin dituju.
Namun, apakah benar hidup harus diukur dari seberapa cepat kita mencapai sesuatu? Ataukah kita sedang meminjam standar sukses orang lain tanpa sadar kehilangan makna dari apa yang kita jalani?
Ambisi yang Lahir dari Perbandingan
Tidak ada yang salah dengan memiliki ambisi. Justru, ambisi bisa menjadi bahan bakar yang membuat kita terus berkembang. Tapi masalah muncul ketika ambisi itu lahir bukan dari keinginan tulus, melainkan dari perbandingan.
Kita mulai menilai hidup melalui pencapaian orang lain: teman seangkatan yang sudah punya bisnis, rekan kerja yang naik jabatan lebih cepat, atau teman lama yang sudah menikah dan punya rumah. Di titik itu, ambisi berubah jadi tekanan.
Perbandingan membuat kita merasa tertinggal, padahal setiap orang punya waktu tumbuh yang berbeda. Apa yang terlihat “terlambat” di mata orang lain bisa jadi waktu terbaik versi kita.
Ketika fokus hidup hanya diarahkan untuk mengejar validasi sosial, kebahagiaan perlahan bergeser menjadi angka, status, dan pencapaian yang terus berubah.
Membedakan Pencapaian dan Pemenuhan
Sering kali, kita terjebak dalam pola pikir bahwa sukses berarti harus punya sesuatu yang bisa dilihat. Seperti pekerjaan tetap, tabungan besar, atau pengakuan publik.
Padahal, sukses sejati tidak selalu kasat mata. Ia bisa berupa ketenangan, rasa cukup, atau kemampuan untuk tetap bertahan di masa sulit.
Kebahagiaan pun bukan hadiah setelah sukses, tapi proses yang berjalan seiring dengannya. Ada orang yang merasa bahagia meski belum mencapai semua impian, karena ia belajar menghargai perjalanan.
Ada pula yang tampak sukses di luar, namun merasa kosong di dalam. Membedakan antara pencapaian dan pemenuhan membuat kita sadar bahwa ukuran bahagia dan sukses tidak bisa diseragamkan.
Menemukan Ritme Hidup Sendiri
Usia 20-an adalah masa pencarian; bukan hanya soal karier, tapi juga pemahaman tentang diri sendiri. Kita belajar bahwa hidup bukan tentang siapa yang lebih cepat, tetapi siapa yang lebih sadar. Sadar akan nilai, tujuan, dan hal-hal yang benar-benar penting.
Ketika kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain, kita memberi ruang bagi diri sendiri untuk berkembang tanpa tekanan.
Tidak apa-apa jika belum tahu semuanya. Tidak apa-apa jika jalan kita berbeda.
Yang terpenting adalah berjalan dengan kesadaran penuh bahwa kebahagiaan sejati bukan tentang pencapaian besar, tetapi tentang kedamaian kecil yang kita temukan di tengah perjalanan.
Sukses bukan berarti selalu berada di atas, dan bahagia bukan berarti selalu tertawa. Kadang keduanya hadir diam-diam, saat kita belajar menghargai diri sendiri tanpa pembuktian.
Hidup di usia 20-an bukan tentang menjadi yang paling hebat, tapi tentang belajar menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri tanpa tergesa, tanpa perbandingan, dan tanpa kehilangan arah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI