Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Saat AI Jadi Teman, Masihkan Akademisi Mau Berpikir Kritis?

26 September 2025   11:06 Diperbarui: 26 September 2025   11:06 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mahasiswa Mencari Data Pendukung (Sumber: Unsplash)

Beberapa tahun terakhir, kehadiran kecerdasan buatan (AI) mengubah lanskap pencarian ilmu di dunia akademik.

Jika dulu mahasiswa dan dosen harus bergulat dengan tumpukan jurnal, antre di perpustakaan, atau melakukan penelitian lapangan, kini cukup mengetikkan pertanyaan di ChatGPT atau META AI, jawaban muncul hanya dalam hitungan detik.

Mahasiswa menikmati efisiensi luar biasa. Tugas yang biasanya memakan waktu panjang bisa diselesaikan dengan cepat, berkat kemampuan AI merangkum teori, menyusun kerangka tulisan, hingga menyediakan daftar referensi.

Dosen pun merasakan manfaat yang sama; AI mampu membantu menyiapkan bahan ajar, merancang contoh soal, hingga melacak tren riset terbaru.

Namun, kenyamanan ini membawa konsekuensi serius. AI memang cerdas, tetapi tidak selalu akurat. Jawaban yang tampak meyakinkan bisa jadi keliru, bahkan referensi yang ditampilkan kerap "dihalusinasi" seolah nyata.

Di titik inilah ujian pendidikan sejati muncul, apakah dunia akademik masih mau berlatih berpikir kritis atau cukup puas dengan jawaban instan yang serba mudah?

Risiko "Ilmu Instan" dan Tergesernya Daya Kritis

Kecepatan yang ditawarkan AI membuat banyak orang tergoda untuk melewati proses ilmiah. Mahasiswa bisa saja menyalin jawaban tanpa melakukan pengecekan silang, sementara dosen pun berpotensi mengambil data mentah tanpa menelusuri sumber asli.

Kebiasaan ini berbahaya. Jika dibiarkan, dunia akademik akan kehilangan kedalaman. Ilmu berubah menjadi sekadar hasil konsumsi informasi cepat tanpa dialektika.

Padahal, inti dari tradisi akademis bukan hanya mencari jawaban, melainkan melatih pikiran untuk mempertanyakan, menguji, dan mengolah data.

Beberapa survei global sudah memperingatkan adanya tren generasi muda yang terbiasa menerima informasi mentah tanpa verifikasi. Sinyal ini tidak boleh diabaikan, sebab ketika daya kritis menurun, riset berpotensi kehilangan integritas, dan pendidikan bisa terjebak menjadi rutinitas formal tanpa jiwa.

Literasi Digital sebagai Penjaga Integritas Akademik

AI bukan lawan. Ia justru bisa menjadi rekan yang memperkaya proses belajar, selama digunakan dengan sikap bijak.

Kuncinya terletak pada literasi digital. Akademisi perlu berdisiplin dalam memeriksa setiap referensi yang diberikan AI apakah benar-benar ada atau sekadar hasil rekayasa sistem.

Informasi yang keluar dari mesin pintar juga harus ditimbang dengan membandingkannya pada literatur ilmiah yang sahih: jurnal akademik, buku, maupun laporan penelitian.

AI sebaiknya diposisikan sebagai pemantik inspirasi, bukan pengganti kerja intelektual. Ia mampu membuka sudut pandang baru dan memperluas wawasan, tetapi tanggung jawab akademis tetap berada di tangan manusia.

Literasi digital yang kokoh akan menjadikan AI sebagai mitra kolaboratif yang memperkuat ketajaman berpikir. Dengan begitu, bukannya mengurangi kualitas, kehadiran teknologi justru bisa melatih para akademisi untuk lebih teliti, reflektif, dan berani mengoreksi.

Akademisi Tahan Uji di Tengah Era AI

Kecerdasan buatan kini hadir seperti rekan baru di ruang belajar. Ia cepat, rajin, dan selalu ada, tetapi juga bisa menjerumuskan jika dijadikan satu-satunya rujukan. Dunia akademik tidak boleh menyerahkan integritasnya kepada mesin, betapapun cerdasnya teknologi tersebut.

Masa depan pendidikan tidak ditentukan oleh seberapa sering AI digunakan, melainkan seberapa besar kemampuan akademisi menjaga daya kritis dan integritas di tengah derasnya arus informasi. Jika itu terjaga, AI justru akan menjadi batu loncatan menuju tradisi ilmu yang lebih reflektif, tajam, dan tahan uji.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun