Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto pada sore kemarin sontak menjadi perhatian publik.
Setiap kali pergantian menteri diumumkan, seolah-olah rakyat sedang menonton episode baru drama politik. Ada yang terkejut karena posisi Sri Mulyani digantikan, ada yang biasa saja, dan ada pula yang menilai ini sekadar strategi menjaga keseimbangan dalam koalisi.Â
Namun, bagi masyarakat luas, reshuffle seringkali lebih seperti tontonan ketimbang jawaban atas persoalan nyata yang mereka hadapi.
Di balik hiruk pikuk itu, terdapat isu yang jauh lebih penting tetapi kerap ditutupi oleh gegap gempita politik tentang RUU Perampasan Aset. Rancangan undang-undang ini sudah lama dibicarakan, disebut sebagai senjata penting dalam perang melawan korupsi, tetapi hingga kini belum juga disahkan.Â
Publik mulai bosan dengan alasan teknis yang selalu dilontarkan, sedangkan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat terus merampas hak rakyat dari waktu ke waktu.
DPR, dengan Puan Maharani sebagai ketua, berada di titik sorotan. Ia menjadi sesosok pemimpin yang tak pernah turun dari jabatannya. Apalagi partai yang ia wakili sering kali disebut sebagai salah satu penyumbang kasus korupsi terbesar di negeri ini.Â
Tidak heran bila keengganan untuk mengesahkan RUU tersebut memunculkan kecurigaan bahwa ada kepentingan politik dan kenyamanan elite yang lebih diprioritaskan ketimbang kepentingan rakyat.
Reshuffle dan Ilusi Perubahan
Pergantian menteri sering dibungkus dengan narasi penyegaran kinerja kabinet. Presiden ingin terlihat sigap merespons tantangan.Â
Namun fakta di lapangan menunjukkan, reshuffle lebih sering digunakan untuk menenangkan ketegangan politik dibanding menyelesaikan problem rakyat. Gaji yang tak sebanding dengan harga kebutuhan, lapangan kerja yang makin sempit, hingga ancaman PHK massal; semua itu tetap menghantui, meskipun kursi menteri sudah diganti.