Tanggal 1 September 2025 menjadi hari yang tidak biasa bagi saya. Rencana sederhana untuk kembali dari Jambi menuju Tangerang, lewat Bandara Sultan Thaha ke Soekarno-Hatta, justru terasa penuh dengan ketidakpastian.
Bukan hanya soal tiket dan jadwal pesawat, tetapi juga suasana negeri yang sedang bergolak akibat demo besar di Jakarta. Berita tentang halte-halte yang dirusak dan massa yang memadati jalanan membuat pikiran saya dipenuhi rasa was-was.
Sabtu sebelumnya saya sudah memesan tiket pukul enam pagi. Namun, Minggu pagi datang pengumuman yang membuat jantung sedikit berdebar bahwa jadwal penerbangan diundur jadi pukul sembilan. Seakan perjalanan pulang ini memang ditakdirkan penuh rasa cemas.
Dalam hati saya hanya bisa berdoa semoga tidak ada halangan. Saya tiba di bandara Jambi sejak pukul lima subuh, menunggu dengan campuran harap dan takut di ruang tunggu yang lebih sepi dari biasanya.
Pemandangan itu membuat saya semakin sadar betapa perjalanan bukan hanya soal berpindah tempat, tetapi juga tentang mengelola rasa. Bandara yang biasanya ramai, kali ini hanya diisi segelintir penumpang.
Meski begitu, ternyata pesawat saya tetap menampung 132 orang. Kami sama-sama duduk dalam diam, menunggu giliran boarding seperti sedang berada dalam ruang antara perjalanan dan tujuan, antara rasa takut dan keyakinan.
Delay Perjalanan, Delay Rasa Aman
Ketika pengumuman delay diumumkan, saya sempat berpikir bahwa penundaan bukan hanya terjadi pada penerbangan. Seolah "rasa aman dan kepastian" di negeri ini juga sedang ditunda.Â
Bagaimana tidak, di luar sana rakyat resah oleh kebijakan DPR yang memicu gelombang demonstrasi. Di layar ponsel saya terpampang kabar halte-halte TransJakarta dan stasiun dirusak. Rasanya perjalanan ini tidak lagi sekadar pulang, tetapi ikut merasakan denyut kegelisahan bangsa.