Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Ketika AI Mengajar, Budaya Siapa yang Kita Pelajari?

13 Agustus 2025   11:07 Diperbarui: 13 Agustus 2025   11:07 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maskpt Duolingo "Duo" Meninggal Dunia (Sumber: X/@duolingo)

Beberapa hari lalu, saya berbincang dengan seorang teman yang cukup fanatik belajar di Duolingo. Targetnya sederhana untuk menguasai bahasa Inggris. Ia rajin belajar setiap hari, mempertahankan streak panjangnya dengan penuh kebanggaan.

Namun, di balik semangat itu, ia mulai menemukan hal-hal yang menurutnya "janggal". "Kenapa Duolingo sekarang ngajarin mencintai sesama jenis? Masa cewek ngajakin cewek honeymoon," keluhnya suatu sore.

Saya tidak langsung kaget, karena saya paham sistem nilai yang dianut negara pembuat aplikasinya. Tapi saya juga mengerti keresahan teman saya: pendidikan bahasa, meski berbentuk latihan dialog, membawa serta nilai-nilai budaya tertentu. Bagi sebagian pengguna, ini tidak masalah; bagi sebagian lainnya, bisa menjadi titik resistensi.

AI, Bias Budaya, dan Tanggung Jawab Belajar

Di sinilah tantangan pendidikan global melalui Duolingo. Apalagi jika AI mengambil alih peran besar dalam kurikulum dan materi pembelajaran.

Algoritma bekerja berdasarkan data yang diberikannya, dan data itu bisa saja tidak netral. Ia mengandung bias budaya, bahasa, dan juga ideologi. Saat kita belajar bahasa asing, tanpa sadar kita juga belajar potongan nilai dan norma yang melekat pada bahasa tersebut.

Masalahnya, tidak semua nilai cocok dengan semua latar belakang pengguna. Apalagi ketika pembelajaran didorong oleh platform global yang tidak sepenuhnya menyesuaikan diri dengan sensitivitas budaya lokal.

Lalu, bagaimana cara kita menyikapinya?

Pertama, sebagai pengguna, kita perlu mengingat bahwa aplikasi hanyalah salah satu alat, bukan satu-satunya sumber belajar. Konsistensi belajar tidak harus berarti kesetiaan mutlak pada satu platform. Justru, membandingkan materi dari beberapa sumber  seperti buku dan artikel berita bisa membantu kita mempelajari bahasa dengan lebih seimbang baik dari sisi linguistik maupun nilai budaya.

Kedua, kita perlu kritis terhadap materi yang kita konsumsi. Tidak semua yang diajarkan harus diadopsi, tapi bisa dijadikan bahan diskusi atau perbandingan. Pendidikan di era AI menuntut kita bukan hanya menjadi penerima informasi, tapi juga pengolah dan penyeleksi informasi.

Ketiga, untuk para pengembang aplikasi, terutama yang sudah menjadi pemain global, penting untuk mengingat bahwa pasar mereka lintas budaya. Fleksibilitas dalam penyesuaian materi atau setidaknya opsi pengaturan konten akan membuat pengguna merasa lebih dihargai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun