Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Ketika AI Mengajar, Budaya Siapa yang Kita Pelajari?

13 Agustus 2025   11:07 Diperbarui: 13 Agustus 2025   11:07 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sedang Belajar (Sumber: Unsplash)

Beberapa tahun terakhir, kata "layoff" semakin akrab di telinga kita.

Perusahaan raksasa teknologi yang dulunya menjadi simbol inovasi, ternyata tidak luput juga dari gelombang penghematan anggaran dan efisiensi tenaga kerja. Ironisnya, efisiensi itu berarti manusia digantikan oleh kecerdasan buatan (AI).

Ilustrasi Duolingo (Sumber: https://bdkjakarta.kemenag.go.id/)
Ilustrasi Duolingo (Sumber: https://bdkjakarta.kemenag.go.id/)

Duolingo, aplikasi belajar bahasa yang terkenal dengan maskot burung hijaunya, bukan pengecualian. Banyak karyawan kreatif mereka harus angkat kaki karena sebagian pekerjaan kini diambil alih AI.

Bukan hanya di belakang layar, perubahan ini juga terasa di pengalaman pengguna. Kita sebagai para pelajar dan konsumen, tanpa sadar diarahkan untuk "melatih" AI memberikan data, masukan, bahkan koreksi agar sistem bisa menciptakan gambar, kode, audio, atau animasi yang lebih realistis dan mendukung pembelajaran.

Iklan Kreatif, Konsistensi Masih Jadi PR

Di sisi lain, Duolingo tetap piawai memainkan strategi marketing kreatifnya.

Maskpt Duolingo
Maskpt Duolingo "Duo" Meninggal Dunia (Sumber: X/@duolingo)

Siapa yang ingat dengan kampanye digital yang menggemparkan itu ketika "Duo mati" karena kita berhenti belajar? Untuk menghidupkannya, kita harus kembali membuka aplikasi dan belajar bahasa. Iklan ini sukses mencuri perhatian jagat maya, membangkitkan rasa bersalah bercampur lucu, dan membuat jutaan orang kembali belajar. Kreativitas mereka patut diacungi jempol.

Namun setelah kita kembali, apakah kita benar-benar mau dan mampu belajar secara konsisten?

Beberapa hari lalu, saya berbincang dengan seorang teman yang cukup fanatik belajar di Duolingo. Targetnya sederhana untuk menguasai bahasa Inggris. Ia rajin belajar setiap hari, mempertahankan streak panjangnya dengan penuh kebanggaan.

Namun, di balik semangat itu, ia mulai menemukan hal-hal yang menurutnya "janggal". "Kenapa Duolingo sekarang ngajarin mencintai sesama jenis? Masa cewek ngajakin cewek honeymoon," keluhnya suatu sore.

Saya tidak langsung kaget, karena saya paham sistem nilai yang dianut negara pembuat aplikasinya. Tapi saya juga mengerti keresahan teman saya: pendidikan bahasa, meski berbentuk latihan dialog, membawa serta nilai-nilai budaya tertentu. Bagi sebagian pengguna, ini tidak masalah; bagi sebagian lainnya, bisa menjadi titik resistensi.

AI, Bias Budaya, dan Tanggung Jawab Belajar

Di sinilah tantangan pendidikan global melalui Duolingo. Apalagi jika AI mengambil alih peran besar dalam kurikulum dan materi pembelajaran.

Algoritma bekerja berdasarkan data yang diberikannya, dan data itu bisa saja tidak netral. Ia mengandung bias budaya, bahasa, dan juga ideologi. Saat kita belajar bahasa asing, tanpa sadar kita juga belajar potongan nilai dan norma yang melekat pada bahasa tersebut.

Masalahnya, tidak semua nilai cocok dengan semua latar belakang pengguna. Apalagi ketika pembelajaran didorong oleh platform global yang tidak sepenuhnya menyesuaikan diri dengan sensitivitas budaya lokal.

Lalu, bagaimana cara kita menyikapinya?

Pertama, sebagai pengguna, kita perlu mengingat bahwa aplikasi hanyalah salah satu alat, bukan satu-satunya sumber belajar. Konsistensi belajar tidak harus berarti kesetiaan mutlak pada satu platform. Justru, membandingkan materi dari beberapa sumber  seperti buku dan artikel berita bisa membantu kita mempelajari bahasa dengan lebih seimbang baik dari sisi linguistik maupun nilai budaya.

Kedua, kita perlu kritis terhadap materi yang kita konsumsi. Tidak semua yang diajarkan harus diadopsi, tapi bisa dijadikan bahan diskusi atau perbandingan. Pendidikan di era AI menuntut kita bukan hanya menjadi penerima informasi, tapi juga pengolah dan penyeleksi informasi.

Ketiga, untuk para pengembang aplikasi, terutama yang sudah menjadi pemain global, penting untuk mengingat bahwa pasar mereka lintas budaya. Fleksibilitas dalam penyesuaian materi atau setidaknya opsi pengaturan konten akan membuat pengguna merasa lebih dihargai.

Urgensi pendidikan hari ini bukan hanya soal mengakses materi pembelajaran kapan saja dan di mana saja. Lebih dari itu, urgensinya ada pada kemampuan untuk memilah, memahami, dan mengkritisi materi tersebut, sambil mempertahankan semangat belajar yang konsisten.

AI boleh semakin pintar, tapi manusialah yang harus tetap memegang kendali dalam menentukan arah pendidikannya. Jika tidak, kita hanya akan menjadi "mesin pendukung" bagi AI memberinya data, melatihnya, membuatnya semakin pintar. Sementara kita sendiri kehilangan kendali atas apa yang kita pelajari.

Pendidikan adalah hak dan tanggung jawab kita. Termasuk di era AI, tanggung jawab itu semakin besar untuk tetap belajar, tetap kritis, dan tetap menjadi manusia seutuhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun