Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Kalau Mobil Listrik Sudah Canggih, Mengapa Jepang Lebih Pilih Hidrogen?

2 Juli 2025   10:55 Diperbarui: 2 Juli 2025   11:21 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toyota Mirai (Sumber: toyota.astra.co.id)

Ketika Indonesia sedang ramai-ramainya memuji mobil listrik sebagai solusi masa depan, Jepang justru mengambil langkah berbeda. 

Negara yang dikenal sebagai raksasa otomotif itu tidak ikut-ikutan terburu-buru memproduksi mobil listrik berbasis baterai secara besar-besaran. Mereka justru fokus mengembangkan teknologi kendaraan berbahan bakar hidrogen; sebuah pilihan yang bagi banyak orang terasa kurang populer, tapi ternyata jauh lebih strategis.

Di saat sebagian besar mobil listrik saat ini menggunakan baterai lithium-ion yang harus diisi ulang lewat sumber listrik, Jepang menekan sumber energi yang dihasilkan apakah bersih untuk menyalakan satu mobil. 

Banyak stasiun pengisian daya mobil listrik di dunia, termasuk Indonesia, masih menggunakan listrik dari batu bara, gas alam, atau minyak bumi. Jadi walaupun mobilnya tidak mengeluarkan asap, proses "menyalakan" mobil itu masih bergantung pada energi kotor.

Mobil Listrik Belum Sepenuhnya Hijau: Di Sinilah Jepang Mengambil Alih

Kita sering berpikir bahwa mobil listrik otomatis berarti ramah lingkungan. Padahal, kalau ditelusuri lebih dalam, sumber energi yang mengisi daya mobil listrik hari ini sebagian besar masih berasal dari energi fosil. 

Ya, mobilnya memang gak pakai bensin, tapi listrik yang dia "minum" untuk mengisi daya masih dihasilkan dari batu bara, gas alam, atau minyak bumi.

Bahkan menurut data bauran energi nasional pada Mei 2025, listrik dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Indonesia masih di bawah 15% atau sebesar 14%. Data tersebut menunjukkan bahwa EBT Indonesia masih di bawah target harapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025 sebesar 15,9%. 

Artinya, meskipun kita mengisi daya mobil di charging station yang canggih, sumber listriknya bisa jadi berasal dari pembangkit berbasis batu bara. Mobil listrik memang tidak menghasilkan emisi langsung saat dikendarai, tapi proses "menghidupkannya" masih membawa jejak karbon yang besar bagi lingkungan.

Nah, di sinilah Jepang mengambil tindakan berbeda. Mereka tahu bahwa transisi energi bukan hanya soal mengganti mesin, tapi juga soal mengganti sumber energi secara menyeluruh. Maka, mereka melirik hidrogen sebagai bahan bakar masa depan.

Hidrogen dianggap lebih bersih karena bersumber dari air (H2O). Lewat proses elektrolisis, air bisa dipecah menjadi hidrogen dan oksigen. Hidrogen inilah yang kemudian dimasukkan ke dalam fuel cell dan dikonversi menjadi listrik untuk menggerakkan mobil.

Yang menarik, hasil "sisa" dari pembakaran ini bukan emisi karbon, melainkan ... air. Artinya, nyaris tidak ada polusi yang dihasilkan dari mobil berbahan bakar hidrogen. 

Inilah alasan kenapa Jepang dengan reputasinya sebagai inovator otomotif, memilih untuk berinvestasi besar-besaran ke teknologi ini. Meskipun sekarang pasarnya belum seramai mobil listrik berbasis baterai.

Lalu, Kalau Diterapkan di Indonesia, Apa Tantangannya?

Di atas kertas dan pemikiran manusia, teknologi hidrogen memang terlihat ideal. Bahan bakar dari air, tidak berisik, tidak beremisi, dan bisa diisi ulang dengan cepat. Tapi bagaimana kalau kita bicara soal implementasi di Indonesia?

Tantangannya ada banyak dan bukan cuma soal teknologinya. Infrastruktur otomotif adalah hambatan terbesar. Saat ini saja, stasiun pengisian daya listrik masih terbatas jumlah dan persebarannya. Apalagi stasiun pengisian hidrogen, yang teknologinya jauh lebih baru dan belum ada dalam skala nasional.

Selain itu, biaya produksi hidrogen (terutama yang benar-benar bersih dari elektrolisis dengan sumber energi terbarukan) juga masih tinggi. Kalau pemerintah tidak serius mendorong teknologi ini, harga mobil dan bahan bakarnya akan terlalu mahal untuk pasar umum.

Belum lagi aspek regulasi, keselamatan, dan edukasi publik. Banyak orang belum benar-benar paham perbedaan mobil listrik baterai dan mobil hidrogen. Sosialisasi yang belum masif juga membuat masyarakat masih berpikir bahwa "yang penting gak pakai bensin" sudah cukup. Padahal, ada banyak level keberlanjutan yang bisa dicapai, dan Jepang sedang mencontohkan salah satunya.

Namun, bukan berarti kita harus pesimis. Justru sekarang saatnya melihat peluang. Indonesia sebagai negara maritim dan tropis punya sumber daya air dan potensi energi terbarukan yang luar biasa dari PLTA, PLTS, hingga biomassa.

Jika transisi ini dirancang sejak sekarang, Indonesia bisa punya masa depan transportasi yang benar-benar ramah lingkungan, bukan sekadar berpindah dari emisi bensin ke emisi batu bara.

Jepang memang terkenal dengan gaya konservatifnya yang hati-hati, tapi strategis.

Saat negara-negara lain berlomba-lomba memproduksi mobil listrik dan membangun charging station, Jepang lebih memilih menunggu dan berevolusi sambil mengembangkan bahan bakar yang lebih bersih. 

Sebab bagi mereka, transisi energi tidak bisa berhenti di tampilan luar. Yang penting bukan cuma kendaraan tanpa asap, tapi sistem energi tanpa polusi dari sumber energi hingga ke jalanan.

Mungkin, inilah yang perlu jadi refleksi kita di Indonesia. Bahwa mobil listrik memang keren, tapi jika listriknya masih "kotor", maka misinya belum selesai. 

Transisi energi butuh lebih dari sekadar pengganti bensin. Ia butuh visi, infrastruktur, dan keberanian untuk melihat lebih jauh. Sama seperti yang sedang dicoba Jepang hari ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun