Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengetahui Seseorang yang Empatik atau People Pleaser

26 Juni 2025   13:01 Diperbarui: 26 Juni 2025   13:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Empatik (Sumber: Unsplash)

Rasanya peduli sama orang lain itu baik. Kita dibilang empatik kalau bisa memahami perasaan orang, hadir saat dibutuhkan, dan jadi tempat curhat yang nyaman. 

Tapi pernah gak sih, kamu berhenti sejenak dan merenungkan diri seperti, "Aku beneran peduli atau cuma takut bikin orang kecewa, ya?"

Di antara niat tulus dan keinginan untuk diterima, garis batas antara empati dan people pleasing sering kali kabur. Kita mengiyakan semua permintaan, menunda kebutuhan sendiri, bahkan merasa bersalah saat mengatakan "tidak". Padahal hati sudah menjerit lelah.

Jadi, bagaimana kita tahu apakah kita empatik... atau justru sedang kehilangan diri sendiri demi membuat orang lain senang?

Empatik: Hadir Secara Baik Tanpa Merasa Bersalah

Menjadi empatik berarti bisa memahami perasaan orang lain tanpa harus menyelami luka mereka terlalu dalam. Empati adalah kemampuan mendengarkan, memahami, dan hadir secara emosional tapi tetap tahu di mana batasnya. 

Orang yang empatik bisa berkata, "Aku peduli," tanpa harus berkata, "Aku akan menyelamatkanmu walau aku hancur sendiri."

Orang empatik punya kemampuan mendampingi tanpa mengorbankan diri secara terus-menerus. Mereka bisa merasa ikut sedih, tapi tidak mengambil alih penderitaan itu sebagai tanggung jawab pribadi. Mereka bisa berkata "ya" dengan tulus, tapi juga bisa berkata "tidak" tanpa merasa bersalah.

Namun karena empati itu hangat dan penuh perhatian, sering kali orang empatik justru disalahartikan sebagai orang yang "selalu ada". Di sinilah celahnya. Ketika empati tidak diimbangi dengan batasan yang sehat, seseorang bisa tergelincir menjadi people pleaser tanpa sadar.

People Pleaser: Saat 'Baik' Jadi Topeng

People pleaser tidak selalu ingin membantu karena peduli. Kadang, dorongan utamanya adalah ketakutan. Takut mengecewakan. Takut ditinggalkan. Takut dianggap egois.

Akibatnya, mereka cenderung mengabaikan kebutuhan sendiri, menghindari konflik, dan menyesuaikan diri secara berlebihan agar tidak menimbulkan masalah.

Berbeda dengan empati yang hadir dari kedewasaan emosional, people pleasing lahir dari ketidaknyamanan akan penolakan. Bukan berarti niat mereka palsu, tapi mereka rela melewati batas demi menjaga citra sebagai "orang baik". Dalam jangka pendek, ini bisa membuat mereka disukai. Tapi dalam jangka panjang, ini bisa melelahkan dan meninggalkan rasa kosong.

Tanda-tandanya bisa samar: terlalu cepat bilang "iya" tanpa mempertimbangkan diri sendiri, merasa bertanggung jawab atas perasaan orang lain, atau sering merasa bersalah karena memilih istirahat daripada menolong. 

Bahkan ketika sudah kewalahan, mereka tetap tersenyum dan berkata, "Gak apa-apa kok." Padahal, dalam hati mereka ingin berteriak, "Aku juga butuh dimengerti!"

Menjadi empatik itu indah. Tapi jika kamu terus memberi tanpa pernah menerima, atau terus berkata "ya" padahal ingin bilang "tidak", mungkin ini saatnya berhenti sejenak. Bertanya pada diri sendiri: "Apakah aku benar-benar ingin membantu, atau aku takut mengecewakan mereka?"

Empati itu sehat kalau dibarengi dengan batasan. People pleasing itu melelahkan karena sering lahir dari rasa tidak enakan yang kronis. Belajar membedakan keduanya adalah bentuk kasih sayang pertama untuk diri sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun