People pleaser tidak selalu ingin membantu karena peduli. Kadang, dorongan utamanya adalah ketakutan. Takut mengecewakan. Takut ditinggalkan. Takut dianggap egois.
Akibatnya, mereka cenderung mengabaikan kebutuhan sendiri, menghindari konflik, dan menyesuaikan diri secara berlebihan agar tidak menimbulkan masalah.
Berbeda dengan empati yang hadir dari kedewasaan emosional, people pleasing lahir dari ketidaknyamanan akan penolakan. Bukan berarti niat mereka palsu, tapi mereka rela melewati batas demi menjaga citra sebagai "orang baik". Dalam jangka pendek, ini bisa membuat mereka disukai. Tapi dalam jangka panjang, ini bisa melelahkan dan meninggalkan rasa kosong.
Tanda-tandanya bisa samar: terlalu cepat bilang "iya" tanpa mempertimbangkan diri sendiri, merasa bertanggung jawab atas perasaan orang lain, atau sering merasa bersalah karena memilih istirahat daripada menolong.Â
Bahkan ketika sudah kewalahan, mereka tetap tersenyum dan berkata, "Gak apa-apa kok." Padahal, dalam hati mereka ingin berteriak, "Aku juga butuh dimengerti!"
Menjadi empatik itu indah. Tapi jika kamu terus memberi tanpa pernah menerima, atau terus berkata "ya" padahal ingin bilang "tidak", mungkin ini saatnya berhenti sejenak. Bertanya pada diri sendiri: "Apakah aku benar-benar ingin membantu, atau aku takut mengecewakan mereka?"
Empati itu sehat kalau dibarengi dengan batasan. People pleasing itu melelahkan karena sering lahir dari rasa tidak enakan yang kronis. Belajar membedakan keduanya adalah bentuk kasih sayang pertama untuk diri sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI