Karyawan kontrak dibayar rendah dan tak punya tunjangan? Bersyukur. Freelancer tak dibayar tepat waktu? Bersyukur. Gaji UMR tapi beban kerja 24/7? Tetap bersyukur.Â
Ini bukan hanya menumpulkan kesadaran kelas, tapi juga membuat orang merasa bersalah saat menuntut haknya. Padahal, mempertanyakan sistem bukan berarti tidak bersyukur. Itu justru bentuk kesadaran dan keberanian.
Kita butuh lebih dari rasa syukur. Kita butuh sistem kerja yang manusiawi: upah yang layak, kontrak yang jelas, akses jaminan sosial, dan kesempatan berkembang.Â
Bersyukur tidak boleh menutupi fakta bahwa banyak anak muda saat ini tidak bisa hidup layak, meskipun bekerja mati-matian.
Freelance, Gaji Kecil, dan Standar Hidup yang Merosot Diam-Diam
Banyak anak muda hari ini terjebak dalam fleksibilitas yang semu.Â
Pekerjaan freelance kerap dipromosikan sebagai "kebebasan memilih," padahal realitanya sering kali tidak seindah itu. Tidak ada kepastian pendapatan, tidak ada THR, tidak ada cuti berbayar.Â
Bahkan sering kali klien menganggap pekerjaan freelance bisa dibayar murah, karena "kan kerjanya dari rumah."
Masalahnya, hidup di Indonesia tidak semakin murah. Sementara harga kebutuhan pokok naik, standar upah tidak kunjung menyesuaikan.Â
Banyak pekerja yang terlihat sibuk, tapi tidak punya daya beli. Bahkan untuk urusan sederhana seperti beli obat, periksa gigi, atau liburan kecil pun jadi kemewahan yang mahal.
Narasi "syukuri dulu aja" membuat kita diam dan merasa cukup, meski sebenarnya kita butuh lebih dari sekadar bertahan hidup.Â