Ia bukan sekadar pewarna bibir, tapi alat untuk mempersiapkan diri menghadapi dunia. Dalam ruang kerja, banyak perempuan merasa lebih siap tampil di depan umum setelah memakai lipstik, seolah-olah ada energi tambahan yang menyelimuti dirinya.Â
Ini bukan berarti lipstik adalah syarat kepercayaan diri, tetapi pilihan sadar yang membuat perempuan merasa lebih terhubung dengan dirinya sendiri.
Yang menarik, lipstik juga bisa menjadi simbol solidaritas antarperempuan.Â
Dalam gerakan feminisme, misalnya, banyak perempuan sengaja memakai lipstik sebagai bentuk reclaiming femininity: mengambil kembali makna feminin sebagai sesuatu yang kuat, bukan lemah.
Lipstik bukan hanya tentang menarik perhatian, tapi tentang menegaskan citra perempuan.
Setiap perempuan berhak menulis ceritanya sendiri, bahkan lewat warna di bibirnya.
Di sinilah lipstik berbicara lebih dari sekadar warna: ia menyuarakan resistensi terhadap stereotip bahwa tampil cantik berarti tak serius, atau berpikir tampil rapi berarti hanya ingin dilihat laki-laki.
Membalik Narasi: Lipstik dan Kesadaran Komunikatif
Ada anggapan bahwa perempuan yang memakai lipstik, apalagi dengan warna mencolok, ingin tampil demi validasi dari luar.Â
Tapi anggapan ini justru memperlihatkan bias gender yang masih kuat dalam cara kita melihat ekspresi diri.Â
Di sinilah pentingnya membalik narasi: bagaimana jika perempuan memakai lipstik bukan untuk dinilai, melainkan untuk menyatakan siapa dirinya?