"Gue gak percaya siapa-siapa lagi." Kalimat itu mungkin terdengar dramatis, tapi nyatanya sering keluar dari mulut orang-orang yang pernah merasa dikhianati, disalahpahami, atau diabaikan.Â
Di balik pernyataan itu, ada harapan yang dalam untuk dimengerti, disambut, dan diperlakukan dengan tulus. Ironisnya, semakin seseorang ingin dimengerti, semakin ia memasang tembok agar tidak terluka lagi.Â
Inilah paradoks dari trust issues: keinginan untuk dekat, tapi takut dibuka.
Fenomena sulit percaya ini tidak hanya terjadi dalam hubungan romantis. Ia bisa muncul dalam relasi keluarga, pertemanan, bahkan kerja tim.Â
Di era komunikasi digital yang serba cepat dan dangkal, trust menjadi barang mahal. Kita lebih cepat menarik kesimpulan dari pesan singkat, emoji, atau typing status, daripada benar-benar mendengar isi hati orang lain.Â
Tapi bagaimana trust bisa hilang, dan kenapa ia begitu susah dibangun ulang?
Luka Komunikasi: Saat Kepercayaan Retak Tanpa Suara
Dalam komunikasi interpersonal, trust atau kepercayaan menjadi fondasi. Ketika seseorang merasa aman untuk membuka diri, komunikasi berjalan lebih jujur dan dalam.Â
Namun kepercayaan bisa runtuh bukan hanya karena kebohongan besar, tapi juga dari hal-hal kecil yang konsisten diabaikan. Contohnya, ketika seseorang curhat tapi hanya dijawab singkat atau diganti topik, pesan yang ditangkap bisa jadi, "Kamu gak penting."Â
Lama-lama, orang berhenti bicara karena merasa tidak didengar. Dari sinilah trust mulai goyah.