Di dunia yang semakin terhubung ini, banyak dari kita merasa terjebak dalam tuntutan untuk selalu tampil sempurna.
Tak jarang, kita mengenakan apa yang disebut sebagai "masker sosial" untuk menutupi perasaan asli kita demi memenuhi ekspektasi orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, baik di dunia nyata maupun dunia maya, kita lebih sering menunjukkan sisi positif dari diri kita.
Foto liburan yang bahagia, pencapaian karier yang gemilang, atau sekadar status yang menggambarkan kebahagiaan sering kali menjadi gambar yang kita tampilkan ke dunia.
Namun, apa yang tersembunyi di balik masker ini? Mengapa banyak dari kita lebih memilih untuk menyembunyikan perasaan asli dan menunjukkan wajah yang lebih “terlihat” baik?
Fenomena ini bukan hanya terjadi pada mereka yang aktif di media sosial, tetapi juga dalam interaksi sosial kita sehari-hari.
Dari keluarga hingga tempat kerja, kita sering merasa tertekan untuk selalu tampil bahagia dan sukses. Ini bukan sekadar soal penampilan, melainkan suatu cara bertahan hidup dalam dunia yang kerap menilai kita dari apa yang kita tunjukkan ke luar.
Meskipun terkadang kita merasa kesepian, cemas, atau bahkan frustasi, kita lebih memilih untuk menutupi perasaan tersebut dengan berbagai alasan. Tetapi, apakah benar kita bisa terus menyembunyikan diri kita yang sebenarnya?
Tekanan Sosial yang Membentuk Masker Sosial
Salah satu alasan terbesar mengapa kita sering kali menyembunyikan perasaan adalah tekanan sosial yang ada di sekitar kita.
Setiap hari, kita dihadapkan pada berbagai harapan dan ekspektasi, baik dari keluarga, teman, maupun masyarakat secara umum.