Selain itu, kegiatan ini melatih kemampuan berpikir kritis. Anak-anak diajak untuk memilih berdasarkan alasan yang logis, bukan sekadar terbuai janji manis. Misalnya, saat teman mereka berkampanye dengan janji tertentu, mereka mulai mempertimbangkan apakah janji tersebut realistis atau hanya sekadar omong kosong.Â
Proses ini membantu mereka membangun pemahaman tentang tanggung jawab dan integritas seorang pemimpin.
Tak kalah penting, simulasi Pilkada juga mengajarkan anak-anak untuk menerima perbedaan pendapat dan hasil akhir dengan sikap lapang dada. Bagi yang mencalonkan diri, mereka belajar berbicara di depan orang lain, melatih keberanian dan kepercayaan diri.Â
Meskipun tidak terpilih, pengalaman ini menjadi pelajaran berharga tentang menghargai proses dan menerima kegagalan sebagai bagian dari kehidupan.
Pesan untuk Orang Tua dan GuruÂ
Orang tua dan guru memiliki peran penting untuk mengenalkan demokrasi dengan cara yang sederhana dan praktis. Jangan hanya mengajarkan teori tentang Pilkada, tetapi ajak anak-anak untuk terlibat dalam simulasi seperti ini.Â
Ingatlah, untuk anak-anak, proses belajar jauh lebih penting daripada hasil akhirnya. Mereka tidak hanya akan bersenang-senang, tetapi juga menyerap nilai-nilai demokrasi yang akan menjadi bekal berharga di masa depan.
Pilkada tak melulu soal rutinitas pesta politik per tiap 5 tahun.Â
Lewat permainan sederhana di rumah, sekolah, atau taman bermain, anak-anak bisa belajar memahami konsep demokrasi secara santai namun mendalam.Â
Dari kotak suara ke kotak mainan, kita bisa menanamkan nilai-nilai kebersamaan, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap perbedaan bagi si anak. Siapa tahu, calon pemimpin masa depan sedang belajar dari permainan kecil hari ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI