Mohon tunggu...
Terry Oktav
Terry Oktav Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Libur sebentar dari tulisan. Lagi fokus UN :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ndu, Kapan Pulang?

13 Agustus 2013   02:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:23 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1376334366749240450

".... Tapi, setelah beribu hari aku di sini, aku mulai terbiasa. Menunggumu di dekat aliran sungai. Percaya bahwa kau akan kembali, menemuiku..."

Sepasang kaki kecil diam hati-hati, berdiri pada sungai jernih dan dangkal di hadapanku. Pandangan matamu—biasanya tujuh puluh derajat—diakumulasikan maksimal. Jaring dengan bambu panjang sebagai pinggiran dan pegangan masih digenggam.

“Dapat!” teriakmu, mengacungkan jaring dengan ikan terjebak di dalam. Aku duduk pada batu besar tak jauh darimu, bertepuk tangan. Senang.

“Ini tangkapan terakhir ya, Nella.” Kamu berjalan ke arahku. Memasukkan ikan hasil tangkapanmu.

Aku mengerucutkan bibir. Akhir-akhir ini kamu mengajakku pulang lebih awal. Padahal matahari terlalu dini untuk disuruh pergi. Sinarnya masih kuat untuk sekadar menelusup ranting pohon dan dedaunan sekitar sungai kecil ini. Untuk sekadar membantu kamu mendapat ikan.

“Kamu tahu sendiri, Nella. Aku tak bisa berlama –lama di sini. Masih banyak hal yang perlu kupersiapkan. Besok sore aku…”

“Kamu akan berangkat ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan. Pamanmu tak mau menunggu lama, jikasaja kamu terlambat.” Aku mengulangi ucapanmu yang terlanjur tertangkap memoriku. Terlanjur kuhafal, tanpa meleset barang satu kata pun.

Kamu tersenyum. Mengangkat ember di sampingku. Kurasa kamu tak pernah peduli bahwa kata-kata yang kukeluarkan selalu dengan harapan agar kamu tak jadi pergi. Agar kamu bersedia menemaniku menangkap ikan satu hari lagi, satu hari lagi, hingga tak tahu hari keberapa.

“Kamu tidak mau tinggal lebih lama lagi?” Aku masih bersikukuh mengejarmu dengan pertanyaan yang sama. Dan harusnya aku tahu, kamu terlalu enggan untuk menjawab dengan kata.

Kamu tersenyum. Lagi. Kemudian berlalu dari hadapanku.

Aku mengikuti langkahmu dari belakang, menggigit bibir. Menciptakan berbagai pertanyaan di dalam batinku.

Hingga kilat jingga datang berpendar di asa. Kamu tak juga mengeluarkan obrolan kecil sebagai pemanis senja ini. Aku pulang ke rumah. Kamu pulang ke rumah. Kita kembali pada tempat masing-masing.

Ndu… besok cari ikan lagi, ya?

****

Sepasang kaki kecil diam hati-hati, berdiri pada sungai jernih dan dangkal di hadapanku. Pandangan matamu—biasanya tujuh puluh derajat—diakumulasikan maksimal. Jaring dengan bambu panjang sebagai pinggiran dan pegangan masih digenggam.

“Dapat!” teriakmu, mengacungkan jaring dengan ikan terjebak di dalam. Aku berdiri di atas batu besar tak jauh darimu, tergugu bisu.

Kamu berjalan ke arahku. Memasukkan ikan tangkapanmu ke dalam ember berisi air. “Ayo cari ikan lagi,” ajakmu.

“Ndu…” Aku menghentikan langkahmu. Heran dengan apa yang kamu kerjakan. Bukankah sore ini kamu pergi? Bukankah kamu sibuk mempersiapkan barang bawaan? Lalu… kenapa kita di sini?

Akhirnya kamu memilih duduk pada batu besar pinggir sungai. Kibasan ekor dan sirip ikan keluar dari ember kecil. Untuk beberapa saat hanya gemericik aliran sungai menggelitik gendang telinga.

Aku mengayunkan kedua kaki bergantian. “Jadi…”

“Besok jangan main di sini lagi.”

Aku mengernyitkan alis, kamu memotong ucapanku. Entah keberapa kali kalimat itu kamu ucapkan. Jangan main di sini lagi? Kamu memang tak pernah setuju jika aku menemanimu menangkap ikan, seperti hari-hari lalu.

“Di sini banyak nyamuk, Nella. Anak perempuan sepertimu lebih pantas membantu ibu di rumah.”

Aku kira kalimat itu sebuah usiran.

“Aku tak pernah bermaksud mengusirmu. Aku senang kamu menemaniku. Seperti sekarang, kamu duduk di batu ini, mengayunkan kaki, dan bertepuk tangan ketika aku mendapatkan ikan. Rasanya aku ingin lebih lama lagi di sini, mendapatkan ikan lebih banyak lagi... untukmu.”

Panas, ujung mataku hampir menyeruakkan bulir kecilnya. Kamu melontarkan hal yang selama ini sama sekali tak kuperkirakan.

“Nella… jika aku kembali ke sini, maukah menemaniku menangkap ikan lagi?”

***

Aku membawa ember kecil, duduk pada batu besar di pinggir sungai. Ayunan kaki menambah gemericik aliran sungai kecil yang tak berubah bentuk. Kilatan jingga mulai berpendar di langit. Aku membenarkan rok yang kukenakan. Satu buah buku cover biru yang hampir habis isinya tergeletak di pangkuan.

Ndu… kabarku baik di sini.

Tenang saja, aku sudah makan. Kamu? aku tahu… pasti sudah. Iya, kan?

Ndu… Maaf ya, tak menuruti ucapanmu. Aku main lagi ke sungai ini. Nyamuk sudah tak begitu banyak. Pohon di sini mulai sedikit Ndu. Tapi, ikan di sini masih ada. Aku sudah bawakan ember untukmu, agar ikan tangkapanmu tak lepas.

Ndu… kapan pulang?

Pertanyaan yang sama, selalu kuletakkan di akhir surat.

Semenjak kepergianmu, aku sering membayangkanmu mengirimkan surat untukku. Aku membalasnya dengan setia. Karena aku percaya kamu akan kembali lagi ke sini. Menangkap ikan untukku, hingga senja tiba.

“Nella…,” kakakku kembali menyusul, “ayo pulang.” Ia menggamit tanganku, menarikku lembut. Agar aku berdiri. Agar aku mau pulang bersamanya, dan tak mengunjungi tempat ini lagi.

Ndu… bukan aku tak mau mendengar ucapan orang, mengatakan bahwa kamu telah menikah dan bahagia di pulau seberang. Tapi, setelah beribu hari aku di sini, aku mulai terbiasa. Menunggumu di dekat aliran sungai. Percaya bahwa kau akan kembali lagi, menemuiku.

Pandu… sore ini aku kembali pulang dengan janji: besok akan kembali membiarkan kakiku berayun pada aliran sungai. Menunggumu kembali.

Ndu… kapan pulang?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun