Oleh: Tendri Rudin, Kader IMM Komisariat Fakultas Hukum UMMUÂ
KOMPASIANA-Tulisan ini bukan sebagai bentuk pemberontakan. Tapi sebagai pernyataan terakhir dari rasa percaya yang sudah lama dikubur, dibunuh, diracuni oleh Negara ini. Â kami bukan musuh negara tapi negara yang telah lama memposisikan dirinya sebagai musuh rakyat. saya menyatakan dengan sadar saya tidak lagi percaya pada negara Indonesia. Negara ini tahu persis apa yang sedang Terjadi, tapi hanya diam, dan itulah yang membuat semuanya lebih menyeramkan. Negara ini aktif memilih untuk berpihak pada segelintir, bukan pada rakyat. berpura-pura hadir, padahal sebenarnya telah lama pergi. hanya kembali saat pemilu datang, saat butuh dukungan, saat butuh legitimasi, lalu menghilang kembali ke balik tembok kekuasaan.
  Cobalah kita  lihat ke jalan, Ke desa-desa, Ke pinggiran kota anak-anak yang seharusnya bersekolah, tapi malah membantu orang tuanya mencari makan hari ini agar bisa hidup sampai besok. Cobalah masuk ke rumah sakit dengan dompet kosong. Negara akan menyambutmu bukan dengan bantuan, tapi dengan formulir, birokrasi tak masuk akal, dan akhirnya: pintu yang ditutup perlahan. Kalau kita miskin, kita bukan lagi warga negara. tapi hanya beban.
Untuk itu lihatlah mereka yang hidup di menara gading kekuasaan. Pejabat-pejabat kita menjilat oligarki dengan lidah yang sama mereka pakai untuk berpidato soal "kerakyatan". Mereka berkampanye dengan air mata, tapi berkuasa dengan besi dan cakar. Mereka menjual tanah, laut, udara, bahkan tubuh rakyat semuanya demi "pertumbuhan ekonomi" yang hanya tumbuh di kantong investor asing dan kroni lokal. Indonesia hari ini adalah negara yang berfungsi hanya untuk menjaga agar mesin kekuasaan terus berjalan, dan bahan bakarnya adalah penderitaan warganya. Penegak hukum bukan pelindung kebenaran, tapi perpanjangan tangan dari kekuasaan yang takut digugat. Aktivis dipenjara, petani diusir, masyarakat adat digusur, dan media dibungkam perlahan tapi pasti. Terus dengan lantangnya mereka berani menyebut ini demokrasi, Tanpa sadar.
Demokrasi macam apa yang hanya hidup di bilik suara, tapi mati di jalanan. Demokrasi macam apa yang membuat rakyat takut berbicara, takut bertanya, takut menuntut. Â Ini bukan demokrasi ini tirani dalam selimut konstitusi. Dan kita dipaksa mencintainya atas nama nasionalisme yang kosong. Setiap hari, kita dicekoki narasi tentang "cinta tanah air", tapi bagaimana mungkin mencintai sesuatu yang terus-menerus melukai, Mencintai negara saat ini, dalam bentuknya yang sekarang, adalah bentuk kekerasan terhadap diri sendiri.
  Maka untuk itu izinkan saya, dengan penuh kesadaran dan tanpa keraguan, mengatakan,
saya tidak lagi percaya. Saya tidak lagi berharap.
Kalau negara terus mengkhianati rakyat, maka kepercayaan bukan lagi kewajiban. Ketidak percayaan saya adalah bentuk terakhir dari kesetiaan kesetiaan pada kebenaran, pada sesama rakyat yang terus ditindas, dan pada harapan bahwa suatu hari, tanah ini bisa jadi milik semua bukan hanya milik segelintir yang bersenjata, bermodal, dan berkuasa. dan saya akan memili tidak pernah tunduk pada kezaliman yang ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
