Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapan dan Mengapa Sistem Pemerintahan Kerajaan Berakhir di Tanah Karo?

27 November 2022   13:08 Diperbarui: 27 November 2022   13:14 1731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah/ istana "Sibayak Kerajan Barusjahe" kesain jahen kini. Desa Barusjahe, Kec. Barusjahe, Kab. Karo (Dok. Pribadi)

Sebelum masa kolonial Belanda, di Tanah Karo telah ada sistem pemerintahan berbentuk kerajaan. Tercatat ada empat kerajaan di Tanah Karo pada masa pra kolonial dengan hak dan kekuasaan yang sama, dikenal dengan sebutan "Raja Berempat".

Keempat kerajaan itu adalah kerajaan Sarinembah dengan raja bermarga Sembiring Milala, kerajaan Suka dengan raja bermarga Ginting Suka, kerajaan Lingga dengan raja bermarga Karo-karo Sinulingga, dan kerajaan Barusjahe dengan raja bermarga Karo-karo Barus.

Pada masa kolonial, Belanda mengakui satu lagi kerajaan yang berkuasa di Tanah Karo, yakni kerajaan Kuta Buluh dengan raja bermarga Perangin-angin. Namun, sebutan terhadap kesatuan kerajaan yang berkuasa di Tanah Karo itu tetap disebut sebagai "Raja Berempat".

Struktur pemerintahan di Tanah Karo sebagaimana dijelaskan dalam sebuah buku berjudul "Barus Mergana" (1977) yang ditulis oleh Sibayak Mandur Barus. Ia merupakan raja terakhir kerajaan Barusjahe dengan gelar Sibayak Kerajan Barusjahe.

Uniknya, struktur pemerintahan pada masa kerajaan itu dimulai dari susunan pemerintahan di dalam rumah adat Karo. Secara umum pada masa itu rumah adat terdiri atas rumah si empat jabu (4 keluarga dalam satu rumah), rumah si waluh jabu (8 keluarga dalam satu rumah), dan rumah si sepuluh dua jabu (12 keluarga dalam satu rumah). Namun, yang paling umum dijumpai adalah rumah si waluh jabu.

Baca juga: Melihat dari Dekat Sisi Lain Keunikan Rumah Adat Karo di Desa Dokan

Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan di kerajaan Barusjahe sebagaimana juga berlaku di kerajaan lainnya di Tanah Karo, berturut-turut dari tingkat paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi adalah sebagai berikut.

1. Rumah Si Waluh Jabu

Di dalam rumah adat, pemimpin pemerintahannya disebut pengulu rumah. Kekuasaannya terbatas untuk urusan-urusan tertentu dan hanya di dalam rumah adat dan wilayah pekarangan rumah adat saja.

Kekuasaan itu meliputi mengatur jadwal si njaga kerin (giliran menjaga rumah), mengatur tangga-tangga yang disandarkan ke atap rumah adat, mengatur jumlah dan isi kuran (wadah air) bagi setiap keluarga di dalam rumah adat untuk memadamkan api jika seandainya terjadi kebakaran, menyampaikan pengumuman dan peraturan-peraturan yang berasal dari pemerintah atasannya (pengulu kesain/ pengulu kuta), mengatur gotong-royong untuk membuat ture (semacam teras dengan tiang penyangga di depan pintu rumah adat), serta pengaturan jadwal kebersihan rumah dan pekarangan.

Setiap keluarga yang menghuni rumah adat juga memiliki jabatan dan peran masing-masing sesuai dengan aturan adat. Rumah adat merupakan struktur pemerintahan paling rendah dalam sistem pemerintahan kerajaan di Tanah Karo pada masa itu.

Ketika terjadi gerakan bumi hangus pada masa agresi militer Belanda, rumah-rumah adat di Tanah Karo dibakar oleh warga sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda. Kehilangan rumah adat juga berarti awal dari kehilangan sistem pemerintahan Karo yang unik itu.

Kehidupan orang Karo yang sangat komunal berubah menjadi sangat individual. Penduduk yang sebelumnya menempati rumah adat selanjutnya menempati rumah sendiri-sendiri yang dibangun dalam petak-petak berjejer seperti lorong.

Baca juga: Rumah Adat Karo dan Strategi Bumi Hangus dalam Sepucuk Surat dari Bung Hatta

2. Kesain

Kesain terdiri atas beberapa rumah adat. Kesain memiliki batas wilayah kekuasaan dan kerangen (lahan hutan, bhs. Karo).

Pemimpin pemerintahan kesain disebut pengulu kesain, yang hanya dapat dijabat oleh oknum bangsa tanah atau oknum dari marga yang mendirikan kesain tersebut. Oleh sebab itu, jabatan pengulu kesain berlangsung turun-temurun, ditetapkan dengan surat keputusan raja yang disebut Sibayak Kerajan.

3. Urung

Di atas kesain adalah urung. Daerah kekuasaan urung terdiri atas beberapa puluh kesain.

Kepala pemerintahan urung disebut raja urung. Jabatannya berlangsung turun-temurun dan ditetapkan dengan surat keputusan Sibayak Kerajan, berdasarkan pertimbangan musyawarah "Balai Raja Berempat".

Raja Urung memiliki kantor dan beberapa orang pegawai. Selain sebagai kepala pemerintahan, raja urung juga merupakan ketua balai urung (ketua pengadilan tingkat urung), dan kepala adat.

4. Kerajan

Di atas urung adalah kerajaan atau disebut kerajan dalam bahasa Karo. Kepala pemerintahan kerajan disebut sebagai Sibayak (raja).

Di kerajan Barusjahe terdapat dua urung, yakni urung si VII kuta (urung dengan 7 kampung) dan urung si VI kuta (urung dengan 6 kampung).

Kuta (sebutan untuk kampung dalam bahasa Karo) ada yang hanya terdiri atas 1 kesain, tapi ada juga yang terdiri atas beberapa kesain. Kuta yang hanya terdiri atas 1 kesain tetap disebut kuta, dan yang terdiri atas beberapa kesain, maka kesatuan dari seluruh kesain itulah yang disebut kuta. Hak/ kekuasaan setiap kesain dalam satu kuta adalah sama.

Selain sebagai kepala pemerintahan, sibayak juga merupakan ketua kerapaten balai raja (ketua pengadilan tingkat kerajaan), dan kepala adat.

Rumah/ istana
Rumah/ istana "Sibayak Kerajan Barusjahe" kesain jahen kini. Desa Barusjahe, Kec. Barusjahe, Kab. Karo (Dok. Pribadi)

Struktur Peradilan 

Sebelum masuknya pengaruh Belanda di Tanah Karo, hanya dikenal 3 tingkat kerapaten (pengadilan) pada setiap kerajaan di Tanah Karo. Secara berturut-turut, kerapaten dari tingkat paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi adalah sebagai berikut.

1. Kerapaten Balai Kuta

Pada setiap kuta (kampung, bhs. Karo), baik yang hanya terdiri atas 1 kesain maupun terdiri atas beberapa kesain, terdapat pengadilan tingkat pertama (paling rendah) dengan sebutan kerapaten balai kuta.

Pada kuta yang hanya terdiri atas 1 kesain, yang menjadi ketua kerapaten adalah pengulu kesain yang sekaligus juga merupakan pengulu kuta tersebut. Sedangkan, yang menjadi anggota majelis pengadilan (yang disebut led) adalah 1 orang dari golongan anak beru (pihak penerima istri) dan 1 orang dari pihak senina (golongan semarga dari bangsa tanah/ pendiri kuta).

Sementara itu, pada kuta yang terdiri atas beberapa kesain, anggota majelis pengadilan adalah seluruh pengulu kesain dan bila diperlukan bisa ditambah anggota dari pihak anak beru. Sedangkan yang menjadi ketua karapaten adalah pengulu kesain yang paling tua (kesain yang pertama berdiri di kuta tersebut).

Kerapaten balai kuta berwenang mengadili dan memutuskan perkara sipil/ perdata dengan nilai sanksi tidak lebih dari Rp25, termasuk pelanggaran-pelanggaran adat yang ancaman hukumannya tidak lebih dari Rp4, seperti pagar rusak sehingga babi lepas dari pekarangan rumah dan masuk ke ladang penduduk, pekarangan yang jorok, masalah lahan pengembalaan ternak, dan sebagainya.

2. Kerapaten Balai Urung

Di atas kerapaten balai kuta adalah kerapaten balai urung. Wilayah hukum kerapaten balai urung meliputi seluruh daerah kekuasaan raja urung.

Oleh sebab itu, ketua kerapaten balai urung adalah raja urung, dan yang menjadi anggota kerapaten/ anggota majelis pengadilan (led) adalah beberapa orang pengulu kuta dari kuta-kuta yang terpenting.

Kerapaten balai urung berwenang untuk mengadili dan memutuskan perkara-perkara sipil dengan nilai sanksi Rp25 sampai Rp100, perkara-perkara pelanggaran adat yang ancaman hukumannya Rp4 sampai Rp25, perkara-perkara pelanggaran adat yang menurut Kitap Undang-undang Hukum Pidana pada masa itu diancam hukuman penjara paling lama 1 bulan dan denda Rp25, perkara-perkara banding atas keputusan kerapatan balai kuta, serta berwenang memberikan pertimbangan dan pendapat terkait pengangkatan pihak anak beru dan senina di wilayah kesain.

3. Kerapaten Balai Raja

Di atas kerapaten balai urung adalah kerapaten balai raja. Wilayah hukum kerapaten balai raja meliputi seluruh daerah kerajaan. Oleh sebab itu ketua kerapaten balai raja adalah Sibayak Kerajan (raja).

Pada kerajan Barusjahe , yang menjadi anggota majelis atau led kerapaten balai raja meliputi raja urung si VII kuta (urung dengan 7 kampung), raja urung si VI kuta (urung dengan 6 kampung), pengulu kesain rumah si gedang kuta Barusjahe, dan pengulu kesain rumah bale kuta Sukajulu.

Kerapaten balai raja berwenang untuk mengadili dan memutuskan perkara sipil dengan nilai sanksi Rp100 sampai Rp200, perkara-perkara pelanggaran adat yang ancaman hukumannya Rp25 sampai Rp60, perkara-perkara pelanggaran adat yang menurut Kitap Undang-undang Hukum Pidana pada masa itu diancam hukuman penjara paling lama 4 bulan 2 minggu dan denda Rp25 sampai Rp500, perkara-perkara banding atas keputusan kerapatan balai urung, memberikan pertimbangan dan pendapat terkait pengangkatan dan pemberhentian pengulu kuta, serta memberikan pertimbangan dan pendapat terkait penetapan batas-batas wilayah kuta dalam satu urung.

Sebelum kedatangan Belanda, Kerapaten Balai Raja merupakan tingkat pengadilan tertinggi dalam struktur peradilan di Tanah Karo. Setelah Belanda berkuasa, susunan balai kerapaten (pengadilan) ditambah satu tingkat lagi yakni Kerapaten Balai Raja Berempat sebagai tingkat pengadilan tertinggi.

Kerapaten Balai Raja Berempat berkedudukan di Kabanjahe. Wilayah hukumnya meliputi seluruh daerah kerajan dari 5 kerajan yang ada di Tanah Karo.

Anggota-anggota majelis Kerapaten Balai Raja Berempat adalah para Sibayak Kerajan (raja) dari 5 kerajan di Tanah Karo. Ketuanya dipilih oleh anggota dari anggota yang biasanya dijabat oleh Sibayak Kerajan yang paling tua dan yang paling lama berkuasa sebagai Sibayak Kerajan.

Namun, yang menjadi penasihat Kerapaten Balai Raja Berempat adalah controleur Tanah Karo. Keputusan Kerapaten Balai Raja Berempat sah apabila dihadiri ketua dan sekurang-kurangnya 2 anggota ditambah penasihat atau wakil penasihat.

Kerapaten Balai Raja Berempat berwenang mengadili dan memutuskan semua perkara yang tidak berhak untuk diadili dan diputuskan oleh balai kerapatan (pengadilan) lain di bawahnya, perkara-perkara banding atas keputusan kerapaten balai raja dari 5 kerajan di Tanah Karo, memberikan pertimbangan dan pendapat terkait pengangkatan dan pemberhentian raja urung, serta memberikan pertimbangan dan pendapat terkait penetapan batas-batas wilayah antara dua urung.

Demikianlah sekilas tentang struktur pemerintahan dan struktur peradilan yang berlaku pada kerajaan-kerajaan yang ada di Tanah Karo sebelum kedatangan Belanda hingga berakhirnya sistem pemerintahan berbentuk kerajaan ini.

Berakhirnya Sistem Pemerintahan Kerajaan di Tanah Karo

Perihal berakhirnya sistem pemerintahan kerajaan di Tanah Karo berkaitan dengan peristiwa revolusi sosial pada tahun 1946. Pada 3 Maret 1946 dilangsungkan pertemuan resmi raja-raja pada negara Sumatera Timur, yang dipimpin langsung oleh gubernur Mr. Tengku Hasan dan dihadiri oleh wakil gubernur, Dr. M. Amir, Residen Tengku Hafas, Residen Karim Ms, dan dari pihak pemerintah kerajaan (sultan-sultan dan raja-raja).

Sultan Langkat, Sultan Siak, Sultan Deli, Sultan Asahan, Tengku Mahkota Serdang, Sultan Bilah, Yang Dipertuan Kualuh/ Leidong, Sultan Pane, Raja Siantar, Raja Purba, Raja Silima Kuta, Raja Raya, Datuk Indrapura, Datuk Sukudua, Datuk Limapuluh, dan Sibayak Barusjahe adalah beberapa yang hadir pada pertemuan dimaksud.

Pada pertemuan itu, gubernur menjelaskan bahwa swapraja (kerajaan dan kesultanan) diakui sebagai Daerah Istimewa berdasarkan pasal 8 UUD 1945 jo ayat (2). Seluruh pemerintah swapraja itu menyatakan mendukung negara Republik Indonesia.

Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara yang dikumandangkan oleh Wakil Gubernur Sumatera Dr. M. Amir pada tanggal 3 Maret 1946, tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja, dan kaum feodal pada umumnya yang dipandang oleh rakyat tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia.

Akibatnya rakyat tidak merasa puas dan mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya Daerah Istimewa seperti pemerintahan swapraja (kerajaan dan kesultanan) dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi yang berporos kepada kedaulatan rakyat sesuai dinamika perjuangan kemerdekaan.

Di Tanah Karo, Komite Nasional Indonesia Tanah Karo bersama barisan pejuang Tanah Karo bersidang pada tanggal 13 Maret 1946. Hasil keputusan sidang itu memutuskan antara lain membentuk pemerintahan Kabupaten Karo dengan melepaskan diri dari keterikatan administrasi kerajaan, menghapus sistem pemerintahan swapraja pribumi di Tanah Karo dan menggantinya dengan sistem pemerintahan demokratis berdasarkan kedaulatan rakyat, Kabupaten Karo diperluas dengan memasukkan daerah Deli Hulu dan daerah Silima Kuta Cingkes dan selanjutnya mengangkat Rakutta Sembiring Brahmana menjadi Bupati Karo yang pertama, KM Aritonang sebagai Patih, Ganin Purba sebagai Sekretaris, dan Kantor Tarigan sebagai Wakil Sekretaris, serta mengangkat para lurah sebagai penganti raja urung yang sudah dihapuskan.

Pada 18 April 1946, diputuskan bahwa Tanah Karo terdiri atas tiga kewedanan dan setiap kewedanan terdiri dari lima kecamatan. Kewedanan itu meliputi kewedanan Karo Tinggi berkedudukan di Kabanjahe dengan wedanannya Netap Bukit, kewedanan Karo Hilir berkedudukan di Tiga Binanga dengan wedanannya Tama Sebayang, dan Kewedanan Karo Jahe berkedudukan di Pancur Batu, dengan wedanannya Keras Surbakti.

Komplek makam Sibayak Kerajan Barusjahe (Dok. Pribadi)
Komplek makam Sibayak Kerajan Barusjahe (Dok. Pribadi)

Barusjahe kemudian menjadi salah satu dari lima kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah kewedanan Karo Tinggi, dengan camatnya Matang Sitepu. Dengan demikian sejak Maret 1946 itu berakhirlah sistem pemerintahan kerajaan di Tanah Karo, termasuk kerajan Barusjahe, dengan rajanya yang terakhir bernama Sibayak Mandur Barus (1911 - 20 Desember 1987) yang memerintah selama sekitar 9 tahun, dari 16 Desember 1937 sampai dengan 3 Maret 1946.

Kini, setiap tahun sejak tahun 2018, tanggal 13 Maret diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Karo.

Rujukan:

M. Barus, "Barus Mergana", Medan: Percetakan Monora, 1977.

web.karokab.go.id

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun