Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lenyap Bersama Angin

12 Oktober 2021   22:44 Diperbarui: 12 Oktober 2021   23:08 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siluet senja di ufuk barat (Dok. Pribadi)

Dari usianya, Degol seharusnya sudah tamat SMA. Namun, karena kesulitan ekonomi, SMP pun dia tidak tamat.

Menjelang ujian kelulusan SMP dia berhenti sekolah dan membantu ayahnya mengolah sepetak ladang yang mereka tanami kopi dan berbagai tanaman muda. Cabe, tomat, kentang, bergantian sesuai naluri mereka yang ditempa oleh alam pegunungan.

Si bungsu Manti saat ini duduk di kelas tiga SMP. Itu pun masih belum jelas nasibnya, apakah akan sama dengan Degol, kakaknya, yang putus sekolah. Manti anak yang baik dan rajin, nilainya di sekolah juga cukup baik. Pada dasarnya Degol kakaknya dulu pun sama halnya.

Barangkali hal itulah yang membuat gundah hati Tejo, ayah mereka. Bukan karena anak-anaknya yang nakal, tapi nasib yang seperti tidak memihak kepada mereka sehingga impian anak-anak harus kandas, menyerah kepada kenyataan hidup yang keras.

Tejo susah payah mengolah ladangnya dibantu Surti dan Degol anaknya. Ada pun Manti lebih banyak belajar dan mengerjakan tugas-tugas rumah saja, memasak, mencuci, dan berbagai tugas lainnya di sekitar gubuk mereka.

Bukan hanya sekali dua saja. Tejo sering kali merugi akibat harga hasil bumi yang tidak menentu. Jerih lelah mereka mengolah tanah tidak sebanding dengan hasil yang mereka terima saat menjual dagangannya ke pasar.

Sebenarnya bukan hanya mereka. Ada banyak keluarga lainnya yang bernasib sama dengan Tejo dan keluarganya. Bagaimana pun, pasar dan hukumnya tampak sering kali lebih kejam dan lebih menakutkan dari pada ibu tiri.

***

Malam menyelimuti bumi. Hari sudah gelap betul ketika Degol masuk ke rumah. Pakaiannya masih belepotan debu yang melekat. Angin musim kemarau betul-betul telah membedaki kulitnya hingga tampak lebih kering dan lebih coklat dari biasanya.

"Sana mandi dulu, habis itu kita makan malam," kata Surti, ibunya.

"Ya, Bu," jawab Degol yang langsung bergegas ke belakang. Kamar mandi itu hanyalah sebuah bilik dengan dinding terbuat dari terpal plastik dan beratap rumbia, terletak beberapa meter di belakang gubuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun