Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Permenungan Senja di Kaki Langit

25 Juli 2021   23:30 Diperbarui: 26 Juli 2021   01:10 2386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siluet senja saat matahari terbenam (Dokpri)

Penderitaan, kesedihan, keletihan, dan kepedihan mungkin akan memberikan respons yang sinis terhadap permenungan yang tampak utopis itu. Namun, matahari terbenam memang akan memberikan setidaknya sedikit saja jeda sebagai sumber kekuatan dan penghiburan di antara semua penderitaan, kesedihan, keletihan, dan kepedihan yang kita alami dalam hidup setiap hari.

Dalam jeda yang singkat itu, kita mungkin akan mampu merasai bahwa masih ada keluarga, sahabat, yang mau mendengar keluh kesah kita dengan penuh ketulusan. Meskipun sebenarnya ia juga dirundung oleh penderitaan, kesedihan, keletihan, dan kepedihannya sendiri.

Bukankah kitab suci juga menuliskan tentang hal itu? Kesusahan hari ini cukuplah menjadi kesusahan sehari, karena esok memiliki kesusahannya sendiri. Makna ungkapan itu tergambar dalam indahnya lukisan matahari terbenam yang hanya berlangsung sekejap.

Sebentar saja, siluet dalam sapuan lembut semburat warna-warni senja itu akan berganti dengan pekatnya gelap malam ketika matahari tenggelam. Sesudahnya, tidak setiap malam gelap disinari oleh terang rembulan.

Benarlah makna ungkapan "panta rhei kai uden menei" dari Herakleitos itu. Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.

Dalam semua hal yang saling berlawanan di alam semesta, menurut Herakleitos tidak ada satu pun hal yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi.

Hari terang menjadi gelap, karena ketiadaan terang. Kemudian hari menjadi terang, karena gelap dikalahkan. Semua yang tampak ada karena sebenarnya sekaligus ada yang menjadi tiada.

Siluet senja menjadi lukisan yang melahirkan permenungan tentang kesatuan dalam perubahan.

Ada sebuah catatan kecil dari Hilde Moller Knag, karakter fiksi dalam novel filsafat Dunia Sophie. Sejak abad kegelapan sampai masa pencerahan, perbedaan pendapat dan pertentangan dari semua hal yang berkebalikan terus terjadi. Namun, kesemuanya ibarat benang putih dan hitam yang terjalin erat satu sama lain dan sulit dipisahkan.

Pikiran-pikiran yang datang kemudian sebenarnya hanya pengurangan, penambahan, atau perluasan dari pikiran-pikiran yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada yang baru.

Dualisme dan monisme bahkan kadang-kadang bisa sama dalam minimal satu hal, yakni pentingnya berpikir. Maka kalau ada yang percaya bahwa dunia adalah milik orang-orang yang berpikir, salah satunya adalah ayah Hilde, Albert Knag.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun