Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengira Bulan adalah Lampion, Merayakan Cap Go Meh di "Pusat Asia"

28 Februari 2021   23:18 Diperbarui: 1 Maret 2021   16:17 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulan Purnama di Kacinambun Highland, 27/02/2021 (Dokpri)

Sabtu, 27/02/2021 saya dikejutkan oleh pekikan anak saya. Pasalnya adalah sebuah bulan penuh yang berwarna merah. "Pak, tengok bulannya bulat, merah, besar kali, Pak," kata anak saya itu.

Iya, benar. Bulan itu lebih besar dan terasa lebih dekat dari biasanya. Ataukah karena malam itu kami berada di ketinggian sekitar 1.500-an mdpl, di Kacinambun Highland, sehingga tampilan bulan tampak lebih besar.

"Oh, tunggu dulu. Jangan-jangan itu hanya sebuah lampion," kata istri saya. Demi menuntaskan polemik atas perbedaan pendapat ini, kami pun sepakat untuk mencari tempat yang lebih gelap untuk memastikannya dari jarak yang "lebih dekat."

Begitulah kami, dalam logika pikiran yang gelap, dan cahaya pengetahuan yang buram, dalam balutan perdebatan, mengikuti kata hati kami yang hanya diterangi temaram cahaya bulan. Tentu saja ditambah penerangan dari senter yang sekarang sudah ada di seluruh perangkat telefon pintar. Kami menyusuri jalan ke sebuah hamparan yang gelap tanpa penerangan.

Sampai di tempat yang gelap, ternyata bulan pun sudah tersaput awan. Kecewa dengan kenyataan, aku belum mau kembali ke rumah. Masih berkeras menunggu bulan menunjukkan cahayanya, sekaligus memastikan bahwa itu bukan cahaya lampion.

Sembari kami menunggu bulan muncul dari balik awan, ternyata memang ada dua orang yang sedang berjuang keras menerbangkan lampion di sebuah tanah lapang. Berjarak sekitar 30 meter dari tempat kami berdiri.

"Tuh, kan? Lampion aku bilang," kata istri saya seperti orang yang menang kuis. Tampaknya mau memberi isyarat agar segera kembali ke rumah.

Tak rela dan tak mau kalah. Aku pantang menyerah, dan ternyata aku belum kalah.

Bulan perlahan muncul kembali dari balik awan. Namun, warnanya tidak lagi merah, melainkan berwarna putih pucat. Aku bergegas ke tempat yang lebih gelap lagi.

Bulan purnama di atas Kacinambun Highland, 27/02/2021 (Dokpri)
Bulan purnama di atas Kacinambun Highland, 27/02/2021 (Dokpri)
Entah apa yang ada dipikirkanku pada saat itu. Aku merasa perlu berjalan maju untuk mencapai tempat yang lebih dekat. Ya, agar lebih dekat ke bulan.

Istri dan ketiga anakku menyusul sambil ogah-ogahan dari belakang. Saya melewati sepasang muda-mudi yang tadi berusaha menerbangkan lampion.

Di belakangku, istriku baru berpapasan dengan pasangan muda-mudi itu. Aku mendengar mereka bertanya jawab.

"Mau ke mana, Kak?" tanya si wanita.

"Kami mau mengejar bulan," kata istriku menjawab. Entah bagaimana ekspresi wajahnya aku tidak tahu. Namun, dari nada suaranya dia tidak tampak kesal. Nada suaranya ceria.

Malam gelap sangat pekat. Cahaya bulan yang putih pucat kalah dengan pekatnya malam. Lagi pula kedua buah lampion pasangan muda itu gagal tinggal landas dan mengangkasa.

Sejenak aku menyetel berbagai fitur di kamera, yang sesungguhnya adalah sebuah telefon genggam yang sudah cukup tua. Itu bukan sebuah kamera dengan lensa tele untuk bisa mengambil foto sebuah objek jarak jauh. Ya, foto bulan di angkasa.

Merasa lucu dengan diriku sendiri, yang entah sudah mengambil gambar sampai berapa kali, aku meminta istri dan anak-anak untuk berbaris. Ya, berbaris (meskipun tidak terlalu rapi) untuk diambil gambar mereka di bawah temaram cahaya bulan, dengan kamera telefon genggam yang sederhana pula.

Cekrek, cekrek. Beberapa foto aku ambil dengan mengarahkan mereka berempat ke berbagai posisi. Sebagian foto aku hapus, karena buruk sekali hasilnya, dan aku sendiri takut menatapnya. Ini ada satu yang tidak terlalu seram. Hehe.

Di bawah cahaya bulan purnama, 27/02/2021 (Dokpri)
Di bawah cahaya bulan purnama, 27/02/2021 (Dokpri)
Hubungan Bulan, Lampion, Cap Go Meh, dan Pusat Asia
Yah, perhitungan tahun baru Imlek yang penting bagi masyarakat Tionghoa itu menggunakan kalender bulan atau kalender lunar. Tahun baru Imlek itu berakhir dengan Cap Go Meh.

Dilansir dari wikipedia, Cap Go Meh adalah akhir dari rangkaian perayaan tahun baru Imlek yang dilakukan setiap tanggal 15 pada bulan pertama penanggalan Tionghoa. Istilah Cap Go Meh berasal dari bahasa Hokkien "Chap Goh Meh" () yang berarti malam kelima belas. Istilah ini umum digunakan oleh Tionghoa Indonesia dan Malaysia. Di Tiongkok, nama yang umum adalah festival lampion.

Oh, aku baru sadar. Kalau pasangan muda-mudi yang mau menerbangkan lampion itu mungkin rencananya akan merayakan Cap Go Meh di atas pegunungan. Namun, sayang lampionnya gagal terbang. Padahal di ketinggian itu biasanya angin berhembus cukup kencang.

Saat kami akan kembali ke rumah, kali ini kami berlima berjalan beriringan. Lagi pula kami sudah berhenti mengejar bulan.

Kami berpapasan dengan pasangan muda itu. "Mau ke mana, Dek?" tanya kami serempak.

"Mau melihat bulan saja, Kak," kata si wanita. Sementara si pria agak sibuk membenahi tripod kameranya. Mungkin mereka nanti akan lebih beruntung dengan bulannya. Sebab kamera mereka lebih canggih. Namun, bisa juga tidak.

Cap Go Meh biasanya dilakukan dengan mengadakan parade dan arak-arakan di sepanjang jalan. Pada malam harinya, perayaan dilanjutkan dengan mengadakan festival lampion.

Namun, di tempat ini tidak ada barongsai. Adanya dua buah lampion yang gagal terbang, ditinggalkan begitu saja di tanah lapang.

Menarik dalam fakta pada malam itu, bahwa perayaan Cap Go Meh pada tanggal 15 bulan pertama penanggalan Tionghoa, adalah pada saat malam bulan purnama. Jadi, tidak salah juga reaksi spontan istri saya saat mengira bahwa bulan merah di atas kincir angin itu adalah lampion.

Bukankah bulan purnama pada malam perayaan Cap Go Meh adalah lampion sempurna, persembahan dari alam pada saat festival lampion? Dan, tak salah juga sepasang orang muda itu memilih untuk hanya melihat bulan purnama, sebuah lampion sempurna dari alam.

Besoknya, saat akan turun gunung dari Kacinambun Highland, hari sudah sore. Entah angin apa yang menggerakkannya, anak saya meminta makan malam dengan mie pansit kuah.

Astaga, benar-benar kami ikut merayakan Cap Go Meh, pikirku. Namun, aku menuruti keinginannya.

Sampai di Kabanjahe, kami memilih untuk makan di sebuah rumah makan yang menyajikan masakan western dan khas China, yang merupakan pusat Asia. Jangan mencibir dulu bahwa klaim ini tidak berdasar, Teman! Nama rumah makan ini memang "Central Asia."

Rumah Makan Central Asia, Kabanjahe (Dokpri)
Rumah Makan Central Asia, Kabanjahe (Dokpri)
Begitu masuk ke dalam rumah makan, kami langsung disambut hiasan lampion berwarna merah dan pernak-pernik perayaan yang cantik-cantik. Sesuai permintaan, kami memesan lima mangkuk mie pansit kuah yang pastinya enak. Apalagi dilahap di kedai yang cantik dan penjual yang ramah, sehari setelah Cap Go Meh.

Lampion (Dokpri)
Lampion (Dokpri)
Mie pansit Siantar di Central Asia (Dokpri)
Mie pansit Siantar di Central Asia (Dokpri)
Pemiliknya adalah pak Jon. Dia juga merupakan koki di rumah makan miliknya ini.

Pak Jon pada masa mudanya, sekitar tahun 1970-an, pernah menjadi koki di hotel Rudang. Itu adalah sebuah hotel berbintang dan termasuk paling tua bersama hotel Bukit Kubu, di kota Berastagi.

Pak Jon muda, pada sebuah sayembara memasak di Hotel Danau Toba Internasional, Medan, 1971|Dokumentasi Pak Jon
Pak Jon muda, pada sebuah sayembara memasak di Hotel Danau Toba Internasional, Medan, 1971|Dokumentasi Pak Jon

Dia bercerita kalau pada masa dulu bekerja di hotel itu, baru mulai masuk bulan Oktober setiap tahunnya adalah awal dari sebuah masa high season dengan tingkat okupansi hotel yang penuh sepanjang hari sepanjang bulan hingga akhir tahun, di Berastagi. Namun, kini pariwisata dalam indikator lama kunjungan dan tingkat okupansi hotel, sudah tidak menentu dan cenderung menurun, katanya.

Selain karena dampak pandemi, mungkin ada penyebab lainnya menurut dia yang tidak aku dalami. Mungkin dia juga masih sering berkomunikasi dengan rekan-rekan dan kenalannya di bidang ini, tokh dia adalah mantan koki hotel di sebuah kota wisata.

Kini, Pak Jon sudah berusia 78 tahun. Dia bercerita, bahwa kakeknya dulu adalah seorang pemilik kedai kopi di salah satu sudut kota Kabanjahe, yang berdiri sejak tahun 1943. Nama kedai itu adalah "kedai kopi sentral." Kedai itu juga menjadi semacam "kantor" bagi sebuah armada taxi bernama "Hiba" pada masanya.

Pak Jon dan dapur rumah makannya, 27/02/2021 (Dokpri)
Pak Jon dan dapur rumah makannya, 27/02/2021 (Dokpri)
Lalu orang tuanya melanjutkan usaha kedai kopi itu, juga warung mie pansit dan masakan khas Tiongkok yang kini dilanjutkannya. Dalam perjalanan hidupnya, sebelum mewarisi rumah makan ini, Pak Jon sempat juga menjadi koki di kapal pesiar dan di rig pengeboran minyak lepas pantai pada beberapa lokasi di Indonesia. Itu adalah pada masa sekitar tahun 1975.

Pak Jon muda pada sebuah kesempatan memasak lobster di dapur sebuah rig offshore, 1975|Dokumentasi Pak Jon
Pak Jon muda pada sebuah kesempatan memasak lobster di dapur sebuah rig offshore, 1975|Dokumentasi Pak Jon

Dia yang sudah sepuh, lahir dan besar di Tanah Karo ini, menitipkan pesan sebelum aku pamit dari warung makannya. "Kita perlu membuat upaya agar hal-hal yang berhubungan dengan pelestarian budaya, lagu-lagu, musik, dan tari tradisional Karo kembali dihidupkan di simpul-simpul destinasi pariwisata kita. Itu untuk kembali mendongkrak pariwisata Tanah Karo," katanya.

Itu diucapkan oleh Pak Jon, di rumah makannya, sehari setelah Cap Go Meh. Sembari aku menikmati lagu-lagu tradisional Tiongkok yang sedang diputar di pesawat televisinya. Aku merasa seperti sedang menikmati sebuah senja di rumah makan di sebuah daerah di daratan Tiongkok. Sehari setelah Cap Go Meh, di "pusat Asia."

Rujukan: Cap Go Meh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun