Meski hidup sendiri masih terasa berat, seorang kawan datang dari jauh, urang Bandung. Si aa terampil membuat celengan. Uniknya, celengannya dari bahan bekas gulungan tekstil yang dipoles menjadi cantik.
"Cantiknya, berapaan ini, Ak?"Â balasku.
"Cuma 10 ribu Rupiah kok, Bang" jawabnya.
Celengan cantik dari bahan daur ulang ramah lingkungan, kreasi si aa dari Bandung, ada juga di Apotek Bersama. Tidak salah si aa datang, ngapain bikin merek "Bersama" kalau hanya mau main sendiri.
"Oke Ak, mainkan", kami salaman.
18 Juni 2017, Apotek Van den Berg
Saya menemani bapak, yang bertugas memimpin ibadah kebaktian Minggu di sebuah gereja tua, di Desa Lau Simomo. Pertama kalinya saya mengikuti kebaktian di gereja itu. Saat masuk ke dalamnya serasa sedang beribadah di sebuah gereja di Eropa, dari gambar-gambar yang saya lihat di teve atau buku.
Saya sendiri belum pernah ke perbatasan Amerika. Namun, suasanya ibadah seperti berada di tengah padang rumput, seperti di film Little House on the Prairie, tetapi bahasa pengantar ibadahnya bahasa Karo.
Dulu, di desa berdiri permukiman penderita kusta, diprakarsai oleh Pendeta E.J. Van den Berg, seorang misionaris Belanda yang tergabung dalam NZG (Nederlandsche Zendeling Genootschap). Itu adalah lembaga pekabaran Injil Belanda, dengan tugas utama memberikan pelayanan kerohanian.
Semula para penderita kusta dirawat dan menginap di rumah Pendeta Van den Berg di Kabanjahe, menggunakan sebagian kamarnya untuk penampungan sementara para penderita. Selain itu, rumah tersebut juga dilengkapi dengan apotek.
Akibat banyaknya pasien yang datang, maka kamar yang tersedia tidak dapat lagi menampung. Pendeta Van den Berg mengusulkan pendirian permukiman baru di suatu desa, tidak jauh dari Kabanjahe, itulah Desa Lau Simomo.