Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengasah Asa di Antara Senja Kala Media Cetak

17 Juni 2020   23:04 Diperbarui: 18 Juni 2020   00:42 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/2d/Medan_Prijaji.jpg/761px-Medan_Prijaji.jpg

Minke, yang merupakan nama samaran dari Raden Mas Tirto Adhi Suryo, adalah pendiri surat kabar harian nasional pertama, surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Bandung pada Januari 1907 hingga Januari 1912, bernama Medan Priyayi. Seluruh pekerja, mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli, dikelola dengan uang dan perusahaan sendiri.

Tirto Adhi Suryo adalah seorang juara 1 dari ketiga HBS di Jawa pada zamannya, dan merupakan seorang eks siswa Stovia yang ironisnya meninggal akibat disentri, dalam kepapaan, tidak lama setelah kembali dari pembuangannya di Maluku.

Kisahnya ada dalam novel roman sejarah "Jejak Langkah" yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, yang merupakan bagian dari Tetralogi Buru. Minke berjuang untuk kebebasan dari ketertindasan, bersama pahlawan-pahlawan lain yang namanya mungkin tidak dikenal dalam sejarah.

Pramoedya sendiri adalah seorang penulis Indonesia yang berkali-kali dinominasikan untuk mendapatkan Nobel Sastra, tapi tidak pernah memenangkannya sampai mati. 

Meskipun bukan pelaku sastra seperti Pram, kisah salah seorang penggiat media cetak koran, dalam diri bang Tanjung ini rasanya kembali menghadirkan sebuah keharuan akan kehidupan orang-orang dalam dunia media cetak, sebagaimana sejarah terbitnya harian nasional pertama bernama Medan Priyayi itu.

Sore tadi, saat nongkrong di sebuah warung, tak sengaja bertemu dengan Bang Tanjung. Selama lebih kurang 37 tahun, sejak tahun 1983, dia bekerja sebagai seorang loper koran di kampung halaman kami, Kabanjahe, Kabupaten Karo.

Sejak sembilan bulan yang lalu, ia berhenti menjadi loper koran dan hingga kini beralih menjadi seorang pedagang mie dan kerang keliling untuk mencari nafkah bagi keluarga. Tulisan ini bukan kisah biografi beliau, hanya sebagian kecil kisah gambaran kehidupan dari orang-orang yang hidup dalam rantai perjalanan koran.

Menurutnya, loper koran merupakan motor perjalanan koran di lapangan. Dia bertutur tentang kisah perjalanan koran, mulai dari tulisan yang dibuat oleh wartawan, masuk dan dicetak di percetakan, diambil oleh agen koran dan selanjutnya disalurkan oleh para loper koran ke rumah-rumah pembaca.

Pada tahun 1983 itu dia mengingat ada 6 harian lokal di Sumatera Utara, dan beberapa harian nasional yakni Kompas, Suara Pembaruan, dan Suara Karya. Beberapa di antara nama-nama koran ini masih bertahan dan merajai oplah koran di kota dan desa-desa di kampung ini.

Menurut pengalaman yang dijalaninya, puncak kejayaan media cetak berlangsung hingga tahun 2010. Kondisi ini relatif bertahan sampai dengan tahun 2015. Namun, trendnya terus menurun mulai dari tahun 2016 hingga kini, dan turut juga berimbas ke tingkat penghasilannya yang juga terus menurun.

Beberapa nama koran lokal yang dia ingat seiring dengan awal kiprahnya pada tahun 1983 itu adalah harian Bukit Barisan, Mimbar Umum, Medan Pos, Sinar Indonesia Baru, Analisa, dan Waspada. Namun, sebagian harian yang masih bertahan itu dengan kondisi yang tidak mudah dan sebagian lagi lebih bertahan di versi online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun