Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Romantika dalam Padi yang Tumbuh Melintasi Zaman di Desa Serdang

17 Mei 2020   23:17 Diperbarui: 18 Mei 2020   09:35 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Padi mulai menguning di kawasan sawah | Dokumentasi pribadi

Dalam sebuah tayangan berjudul Drain The Ocean di saluran televisi National Geographic diceritakan tentang rekonstruksi dengan teknik visual modern yang menampilkan citra sebuah pelabuhan yang hilang milik kekaisaran Romawi bernama Portus, yang tampak seandainya lautan dikeringkan.

Pelabuhan Portus di Roma ini, merupakan sandaran kapal-kapal kargo yang membawa gandum dari dan ke Portus.

Kejayaan teknologi Romawi Kuno yang sudah mampu memobilisasi gandum antar pelabuhan, yang mana gandum merupakan salah satu makanan pokok, termasuk dari Pelabuhan Caesarea Maritima yang hilang diduga karena ditelan tsunami pada sekitar tahun 116 Masehi ke pelabuhan Portus, ternyata tidak mampu menjamin daya tahannya saat dihadapkan dengan alam yang bergejolak ganas. 

Terkadang sesuatu yang tradisional yang dibangun selaras alam tampaknya lebih memiliki daya tahan dan kemampuan penyesuaian diri yang berumur panjang.

Berikut ini adalah lirik dari sebuah lagu anak tentang Petani yang sering diputar di layar TVRI pada tahun 1990-an:

Nasi putih terhidang di meja
kita santap tiap hari
Beraneka ragam hasil bumi dari manakah datangnya
Dari sawah dan ladang disana, petanilah penanamnya
Panas terik tak dirasa, hujan rintik tak mengapa
Masyarakat butuh bahan pangan
Terima kasih bapak tani, terima kasih ibu tani
Tugas anda sungguh mulia

Ribuan kilometer dari Roma, adalah sebuah desa kecil yang masih tetap mempertahankan produksi sumber bahan pangan pokok, bukan gandum, tapi padi yang ditanam di sawah dengan teknik tradisional. 

Itu adalah Desa Serdang, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

Padi merupakan sumber dari nasi yang dikonsumsi oleh banyak ras manusia sebagai makanan pokoknya. Di desa ini padi yang ditanam masih lebih dominan bernuansa tradisional. Segalanya lebih banyak dikerjakan dengan tangan.

Selain kondisi medannya dan kontur tanah yang tidak memungkinkan, juga karena luas lahan yang terpisah-pisah membuat penggunaan mesin traktor justru tidak optimal. Namun, justru dalam tradisionalitasnya ini, menanam padi di sawah pada desa kami menghadirkan banyak hal yang tampak sangat selaras dengan alam.

Sudah biasa, bila menanam padi dipadu dengan memelihara ikan. Itu disebut dengan teknik mina ikan. Simbiosis padi dan ikan ini adalah bentuk hubungan yang saling menguntungkan.

Dalam masa pertumbuhannya, tanaman padi kini memiliki musuh alami yang semakin berkembang. Tampaknya hal ini berhubungan dengan mobilitas manusia, sumber asal ternak dan pupuk yang datang dari wilayah lainnya.

Mobilitas ini turut membawa serta keong-keong yang suka memakan daun dan batang padi. Ikan-ikan ini dapat hidup dengan baik karena padi dipelihara dengan cara alami, sementara padi mendapat keuntungan karena ikan-ikan turut membantu memangsa keong-keong. Dari situ, petani dapat memperoleh hasil panen padi dan sekaligus ikan sebagai hasil sampingannya.

Tidak jarang juga, pada masa-masa awal musim tanam, dimana padi belum tumbuh besar, ibu-ibu yang bekerja ke sawah melakukan kegiatan yang disebut "Ndurung". 

Itu adalah aktivitas menjaring ikan-ikan kecil yang kami sebut "Kaperas", "Silau-silau" dan "Timah-timah", serta berbagai serangga air lainnya yang bisa dimakan, seperti "Cibet" dan "Singkai", dengan menggunakan jaring kecil yang disebut "Durung". 

Hasil dari "Ndurung" ini, yang tidak lain adalah ikan-ikan kecil dan serangga air yang sangat beragam, dimasak jadi satu dalam bentuk gulai ikan menggunakan rempah-rempah dan bahan khas pedesaan, yang kami namakan "Tangas-tangas". Enak sekali menyantap nasi hangat dengan lauk tangas-tangas ini.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Foto ilustrasi Dokumentasi pribadi
Foto ilustrasi Dokumentasi pribadi
Dulunya, saya mengingat bahwa musuh utama padi yang ditanam di sawah-sawah ini hanyalah burung dengan bulu putih di kepalanya. Kami warga lokal menyebut juga burung ini dengan nama "Perik Mbunga". 

Dulu saat orang masih memiliki banyak waktu untuk berburu burung ini, banyak juga orang yang menangkapi burung ini dengan jaring dan dimasak sebagai makanan olahan.

Burung-burung ini entah bagaimana tampak mengalami peningkatan populasi menjelang musim panen padi. Maka, adalah sebuah pemandangan yang lazim saat menjelang musim panen tiba, sawah tampak berwarna-warni dengan umbul-umbul dan orang-orangan yang terpasang bagai kanopi di atas hamparan sawah dan digerakkan dengan tali-temali yang terhubung ke sebuah pusat di tengah sawah.

Alat pengusir burung yang terbuat dari bambu yang dibelah dan dihubungkan dengan tali-temali ke dangau yang ada di tengah sawah itu disebut "Kap-kap". Hal ini mungkin disebabkan karena suaranya terdengar seperti "kap...kap...kap" setiap kali ditarik-tarik untuk menghalau burung.

Padi mulai menguning di kawasan sawah |Dokumentasi pribadi
Padi mulai menguning di kawasan sawah |Dokumentasi pribadi
Petani yang menghalau burung di kawasan sawah |Dokumentasi pribadi
Petani yang menghalau burung di kawasan sawah |Dokumentasi pribadi
Kami menyebut istilah kegiatan menghalau burung ini dengan nama "Mburo". Orang-orang saling bersahut-sahutan di sawah, meneriakkan yel-yel yang khas mengusir gerombolan burung pencuri padi, "Wayahe, wayahe, wayah", demikian bunyinya.

Romantika dalam kegiatan menanam padi di sawah ini didokumentasi juga oleh masyarakat tradisional kami dalam bentuk kesenian dan kebudayaan. Istilah "Wayahe, Wayah" ini sendiri bahkan dijadikan judul sebuah lagu yang diciptakan oleh alm. Djaga Depari, salah seorang Komponis nasional dari Tanah Karo.

Kegiatan mengerik padi dalam sebuah wadah kerja sama yang disebut aron, terkadang mempertemukan muda-mudi dalam sebuah obrolan hangat di tengah sawah. 

Apalagi bila panen telah usai dan mendapatkan hasil yang melimpah, maka pesta tahunan yang disebut "Kerja tahun" sebagai bentuk ungkapan syukur akan digelar dengan meriah.

Tidak jarang, dalam pelaksanaan pesta syukuran hasil panen ini, digelar "Gendang-gendang" atau tari-tarian tradisional sampai dua hari. Dalam acara ini, muda-mudi anggota karang taruna desa menjadi "bapa aron" dan "nande aron", semacam jaka dan dara maskot acara.

Padi yang ditanam di sawah, meskipun secara sederhana, tetap bertahan dengan segala romantikanya. Namanya juga romantika, di dalamnya melibatkan bermacam emosi jiwa. Ada suka, ada juga duka.

Petani tentu sangat bersyukur bila hasil panen melimpah, sebaliknya ada juga rasa sedih mana kala hasil panen tidak seperti yang diharapkan.

Menjemur padi hasil panen|Dokumentasi pribadi
Menjemur padi hasil panen|Dokumentasi pribadi
Namun, romantika dalam padi yang tumbuh melintasi zaman ini, sadar atau tanpa disadari adalah bagian bentuk aktivitas yang tetap menjaga kesinambungan hidup dan harapan banyak masyarakat kita. 

Bila bukan untuk perdagangan antar pelabuhan, setidaknya padi yang ditanam mampu menjaga pasokan kebutuhan makanan pokok kita sendiri.

Terimakasih bapak tani, Terima kasih ibu tani, tugas anda sungguh mulia.

Referensi:

Lirik Lagu Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun