Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bersyukurlah Kalau Pusing, Setidaknya Kita Masih Punya Kepala

22 Februari 2020   20:28 Diperbarui: 22 Februari 2020   20:49 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan itu adalah kreatifitas kesenian hasil produksi label Joger. Label ini sudah sangat umum diketahui sebagai penghasil barang-barang manufaktur, entah pakaian, souvenir dan pernak-pernik yang sering muncul dengan meme atau gambar dengan tulisan-tulisan yang menggelitik. Baik sebagai kritik sosial atau hanya sekadar menghibur dengan bahasa-bahasa satir.

Menggunakan gaya bahasa dengan makna yang sebenarnya, dari sudut pandang farmasi, barangkali ungkapan di mug keramik kedai kopi itu bisa bermakna bahwa tidak semua rasa pusing disebabkan oleh bibit penyakit yang karenanya harus diberi obat. Setidaknya kepala yang pusing bisa menjadi alarm rasa syukur bahwa kita masih mempunyai kepala dan karenanya kita masih bisa bersyukur.

Dari sudut pandang religiusitas, mungkin tidak memadai sebagai sebuah pesan rohanis, tapi juga tidak salah memandang ungkapan itu sebagai cara cerdik untuk mengkritik ketidakmampuan manusia mensyukuri hal-hal yang mereka punyai, karena terlalu terpaku mengejar hal-hal yang belum mereka miliki. Padahal belum tentu yang tidak dimiliki itu adalah sesuatu yang perlu bagi mereka.

Untuk perasaan pusing karena alasan yang terakhir ini, pusing karena terlalu terpaku mengejar hal-hal yang belum tentu perlu, maka obat yang perlu bagi rasa pusing yang ada sebenarnya hanyalah sebuah hati yang gembira. Karena ternyata hati yang gembira adalah obat, tapi semangat yang patah memusingkan kepala

Menghubungkan antara semangat kerja dan kisah kepala pusing yang tertulis di dinding mug keramik di atas meja warung kopi, dengan kisah hidup John Forbes Nash, Jr., seorang matematikawan berkebangsaan Amerika Serikat, mungkin tidak terlalu tepat, tapi barangkali bisa dicoba.

Nash yang lahir pada tanggal 13 Juni 1928 dan meninggal pada 23 Mei 2015 dalam usia 86 tahun, adalah seorang yang genius di bidang matematika sekaligus penderita skizofrenia. Ia adalah peraih penghargaan Nobel Memorial Prize in Economic Sciences, pada tahun 1994, bersama pakar teori permainan Reinhard Selten dan John Harsanyi. Pada tahun 2015, ia juga dianugerahi penghargaan bersama Louis Nirenberg atas penelitiannya mengenai persamaan diferensial parsial nonlinier.

Kisah John Nash ini sudah diangkat ke sebuah film produksi Hollywood, berjudul A Beautiful Mind, yang diadopsi dari sebuah buku dengan judul yang sama karya Sylvia Nasar. Di sana diceritakan tentang kegeniusan matematis Nash dan perjuangannya melawan penyakit mental.

Tentu pusing-pusing kepala tidak bisa disejajarkan dengan skizofrenia. Namun, kedua hal ini sama-sama terjadi di kepala. Nilai perjuangan Nash dan pendampingan yang penuh cinta setia dari istrinya di tengah penyakitnya, ternyata membuktikan bahwa prestasi bisa berasal dari orang seperti apapun juga. Belum lagi bila kita menghitung nilai perjuangan kisah cinta dari istrinya yang tetap bertahan mencintai dan mendampingi Nash yang kompleks.

Maka layaklah, bila pikiran di kepala yang kecil ini mampu menerima dan menjalani kenyataan-kenyataan yang tidak selamanya indah dalam kehidupan disebut sebagai pikiran yang indah, a beautiful mind. Bagaimana tidak, Nash yang tidak seluruh hidupnya indah, tapi dengan pikiran-pikiran indahnya, mampu menghasilkan karya-karya di bidang teori permainan, geometri diferensial, dan persamaan diferensial parsial yang telah membuka jalan bagi ilmuwan-ilmuwan lain untuk mempelajari faktor-faktor yang mengatur kemungkinan berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.

Tulisan ini diinspirasi oleh tulisan tentang kepala pusing pada dinding mug keramik di atas sebuah meja warung kopi, sambil merenungi kisah John Nash. Tampaknya dari sana, tidak salah untuk merumuskan sebuah opsi kesimpulan sementara tentang arti mencintai sebagai sebuah bentuk fungsional tindakan kasih yang didorong oleh motif kecil dalam luasnya keindahan alam pikiran yang tidak terbatas.

Tindakan yang seperti itu mampu mengalahkan perasaan keterpaksaan dalam sebuah hubungan yang di permukaan terkadang lebih tampak sebagai sebuah kewajiban dan di dalamnya seringkali muncul keinginan untuk menyerah dan pergi melarikan diri dari kenyataan. Terkadang ada perasaan bersalah karena kenyataannya yang demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun