Setidaknya begitu yang saya rasakan pada hari itu. Orang banyak makan di sana. Tua muda, laki perempuan, putih hitam, semua berbaur di sana. Barangkali kalau bukan karena kesengsem dengan cita rasanya, mungkin karena penasaran seperti saya, dan tentu saja karena lapar pasti ada.
Tidak enak mengganggu kesibukan mereka berdua, tuan dan nyonya rumah kios penjual mie goyang legendaris ini, saya hanya sempat berbincang sebentar.Â
Itupun mereka mau meladeni saya karena saya bilang saya seorang Kompasianer dan bukan wartawan yang mau mengganggu pekerjaan apalagi mengusik kesibukan mereka berdua. Mereka tersenyum, mungkin pernah membaca Kompasiana, mungkin.
Dia adalah pak Yusuf dan istrinya. Menariknya, taksiran saya, dari ciri fisiknya, mereka berdua adalah keturunan etnis Tionghoa, jadi wajar sekali mereka sangat jago soal dunia mie-mie-an.Â
Tapi sekarang pak Yusuf bermarga Purba. Wah, dia semarga dengan saya pikirku. Karena marga Tarigan pada suku Karo itu sama dengan marga Purba pada etnis Simalungun, kata kakek saya dulu dan bapak-bapak saya.
Orang Karo bermarga Tarigan, di kios mie goyang bertemu dengan saudara semarga dari etnis Tionghoa, menyajikan tidak sekadar mie yang legendaris tapi juga bermakna filosofis.
Menurut saya pribadi, bukankah sudah memang demikian seharusnya Indonesia adanya dan dikelola sebaik-baiknya? Bahwa di mana pun di Indonesia, siapapun dia dan dari etnis manapun dia, dia adalah orang Indonesia yang saat ini ada dan tinggal di Siantar, di Kabanjahe Tanah Karo, di Tanah Jawa, di Papua dan di manapun dia berada.
Jadi, kalau dari Barat kita disuguhkan teori pengelolaan kemajemukan semacam teori melting pot atau salad bowl, maka tidak kurang canggih secara esensi dan filosifi, pada hari itu saya merasa mendapatkan wawasan atau insight kemajemukan dari teori Mie Goyang Pajak Horas Siantar.Â
Tentang hal ini, mengapa dinamakan Mie Goyang, saya tidak tega mewawancarai pak Yusuf Purba dan istrinya yang terlihat sudah sangat sibuk melayani pesanan dari para pelanggan yang datang, duduk, makan dan pergi silih berganti di kursi rumah kios makannya. Memang sebagian kursi yang saya duduki memang agak goyang-goyang, barangkali karena sudah sangat sepuh dimakan usia.