Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kepastian Hukum dan Keadilan dalam Etika Jabatan

26 Oktober 2019   10:11 Diperbarui: 26 Oktober 2019   11:16 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.mediadinamika.com

Bukanlah suatu hal yang mengherankan bila kecenderungan setiap orang adalah menyenangi hal-hal yang mudah dan menyenangkan, serta membenci hal-hal yang sukar dan membutuhkan pengorbanan. Begitupun dalam pekerjaan. Sebagian besar pekerja pastilah cenderung lebih menyenangi pekerjaan yang mudah dan menyenangkan, dari pada pekerjaan yang sukar dan berisiko, sekalipun pekerjaan yang sukar dan berisiko itu mungkin adalah sesuatu yang jauh lebih berguna dari pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Bukan saja lebih berguna bagi orang lain yang menerima manfaat pekerjaannya, tapi juga bagi dirinya sendiri, karena mengerjakan hal-hal yang berguna bagi orang lain adalah salah satu ibadah yang tertinggi.
Kecenderungan untuk memilih yang mudah dan menyenangkan, seringkali berlindung dalam argumentasi yang mengatasnamakan kepatuhan pada aturan, demi kepastian hukum. Sementara itu, bila berbicara masalah hukum, bahwa hukum ada bukan demi kepastian hukum itu sendiri, melainkan harusnya memenuhi juga rasa keadilan dalam penegakannya.
Bila demikian halnya, lebih mementingkan aspek kepastian hukum dari pada aspek keadilan, maka yang hadir akhirnya adalah sikap dan tindak yang penting benar, secara hukum, walaupun mungkin kurang bermanfaat karena tidak mencerminkan rasa keadilan. Gambaran itu bisa juga terasa dalam hal memangku sebuah jabatan, entah itu di lembaga pemerintah, swasata, atau organiasi lainnya secara umum di masyarakat. Dengan kata lain, sikap lebih mementingkan aturan dari pada keadilan dalam memaknai sebuah jabatan yang diemban, akan melahirkan sikap pejabat yang hanya menyenangi jabatan, tapi menghindari tanggung jawab dan risikonya.
Dalam bungkus argumentatif demi kepastian hukum, dampak negatif dari jabatan yang diemban dengan sikap seperti itu, mengutamakan  kepastian hukum daripada keadilan meskipun dalam kejujuran, mungkin akan mengakibatkan suatu keburukan yang seolah terlihat tidak, tapi terasa ada. Meminjam  ungkapan Karen Armstrong, itu seperti mengalami sesuatu dalam semilir angin yang nyaris tidak terasa, dan dalam paradoks keheningan yang riuh.
Sementara itu, tindakan etis dalam etika jabatan, menekankan bahwa pejabat publik seharusnya mendahulukan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi dan golongan.
Sikap seperti ini justru di hadapan hukum sering pula dikritik sebagai pencitraan, yang sebenarnya bisa dibilang sebagai pengorbanan, karena sering kali terkesan melampaui hukum meskipun jelas tidak mengabaikan rasa keadilan.
Kemampuan sikap dan tindakan etis dalam etika jabatan seperti disebutkan di atas, adalah bentuk damai sejahtera yang melampaui segala akal, yang hanya mampu dilakukan bila damai sejahtera yang melampaui segala akal itu senantiasa memelihara hati dan pikiran kita atau siapapun yang menjabat apa.

Tindakan etis dalam memegang teguh etika jabatan, dalam istilah Pdt. Prof. Dr. Lothar Schreiner, itu ibarat sebuah apostel yang diam. Pejabat publik yang bekerja dengan memegang teguh etika jabatan, sekalipun bekerja dalam diam, tapi dampak dari pekerjaannya yang akan berbicara selamanya, mengingatkan beragam pesan dan pengajaran, saat ia dilihat, dirasakan, dikenang dimana saja dan kapan saja. Itu juga bisa terasa sebagai damai sejahtera, sekalipun dirasakan dalam semilir angin yang nyaris tidak terasa dan dalam paradoks keheningan yang riuh, oleh masyarakat atau orang-orang yang dilayaninya.
Siapakah yang paling berhak menentukan apa yang layak dan patut bagi dirinya atau bagi orang lain? Setidaknya, hampir setiap manusia merasa bahwa dirinyalah yang berkuasa menentukan sendiri jalan hidupnya.
Goenawan Mohamad bahkan menggambarkan dengan jelas dalam tulisannya tentang sekulerisme, bahwa sebagian dari manusia itu, yang karena satu dan lain hal menganggap diri sebagai penjaga dogma, bahkan bertindak menjadi hakim untuk menentukan mana yang salah dan yang benar, mana yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh sesamanya manusia. Bahkan sering kali itu terjadi dengan mengatasnamakan Tuhan.
Manusia bahkan tidak sedikit yang menggugat keberadaan Tuhan yang tak terbatas dengan akalnya yang terbatas. Padahal, baik para pemuja mistis, para filsuf, para sufi, para maestro dan sebagian manusia yang karena satu dan lain hal menganggap diri sebagai penjaga dogma dan bertindak menjadi hakim atas sesamanya dengan mengatasnamakan Tuhan  itu, bahkan dalam perbedaan pendapat di antara sesama mereka, pada akhirnya menyepakati satu hal, bahwa tidak mudah mengartikan "damai sejahtera yang melampaui segala akal itu" sekalipun dengan seluruh kosa kata yang tersedia. Itu hanya bisa dipahami dan dirasakan dengan berbagai rasa yang bisa saja berbeda-beda bagi setiap orang sebagai pengalaman pribadi.
Pengalaman seperti itu, bisa saja terjadi pada jabatan dan pekerjaan apa saja. Apakah di sekolah-sekolah, di rumah sakit, di rumah tangga, di kantor-kantor, di penjara dan di mana saja. Kepastian hukum dan rasa keadilan dalam paradoks kegunaan yang melampaui segala akal itu, membawa pertentangan dan kedamaian turut serta di dalamnya. Karena benar belum tentu adil, sama halnya dengan adil yang belum tentu benar. Itu hanya bisa dinilai pada akhir sebuah perjalanan, karena kebenaran dan keadilan tidak akan bisa berjalan beriringan bila tidak ada kejujuran.
Kepastian hukum dan keadilan dalam etika jabatan, menjadi suatu  hal yang bila ia hadir di tengah pertentangan, ia membawa perdamaian, di tengah perselisihan ia mempersatukan, di tengah kegelapan ia membawa terang, di tengah keputusasaan ia membawa harapan.
Sekalipun ditertawakan, tidak ada alasan bagi kebenaran, keadilan dan kejujuran untuk merasa dipermalukan. Kalaupun ada satu hal yang patut untuk membuatnya merasa malu saat ia dipermalukan adalah, manakala dia menipu dirinya sendiri dengan memuliakan diri, padahal Tuhan yang dia puja sendiri sering kali hanya terasa dalam semilir angin dan paradoks keheningan yang riuh. Tuhan sendiri merendahkan diri. Kalau tidak demikian, mungkin tidak ada lagi manusia yang berani bahkan untuk sekadar membayangkan adanya surga yang tersedia baginya?
Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau, Tuhan menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia, Tuhan menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera (Bilangan 6:24-26)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun