Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demi Masa, Untuk Sebuah Nama

3 Mei 2019   18:45 Diperbarui: 3 Mei 2020   09:42 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ki Hajar Dewantara (wikipedia)

Baca juga 

Ini bukan lagi soal penjajahan atau kemerdekaan, siapa yang terjajah dan siapa yang merdeka. Saat ini, ilmu dan pengetahuan adalah nilai baru yang lebih diperhitungkan ketimbang parang, golok dan pedang yang cukup digerakkan bermodal nekad dan keberanian. Pada masa kini, orang mengejar ilmu dan pengetahuan sepatutnya lebih didorong oleh keinginan untuk lepas dari penindasan.

Mungkin lain rasanya antara mendengarkan "Untuk Sebuah Nama" dari Betaria dengan "Imagine" dari John Lennon. Demi masa, sejarah mungkin tak kurang banyak mencatat orang-orang besar yang lahir dari lumpur kemiskinan, kebodohan dan penindasan yang tidak tertahankan. Ada yang lahir dari belahan bumi yang mungkin tak pernah disadari ada di Globe.

Ilmu dan pengetahuan menyisakan sedikit-sedikit romantika bagi mereka yang memujanya. Jatuh hati pada ilmu dan pengetahuan tanpa memandang suku, bangsa dan agama. Tidak ada kata yang lebih baik selain mengucapkan terimakasih kepada Ki Hajar Dewantara, kepada bapak dan igu guru. Kalau bapak dan ibu guru adalah mak comblang, maka ilmu dan pengetahuan adalah cinta pertama bagi murid-murid yang kecil-kecil dan dekil-dekil ini.

Sebagai murid, dari dulu, kini dan mungkin juga sampai nanti, apa yang kurang dalam dalam hubungan dengan guru adalah dalam menghargai perjuangan mereka dalam membagikan ilmu dan pengetahuan yang sudah memberikan sederet manfaat tidak saja sebatas romantika bagi para pemujanya. Mengapa penting memberikan penghargaan karena itu diperlukan agar bapak ibu guru tetap sadar bahwa apa yang mereka kerjakan itu adalah sangat penting.

Baca juga 

Dalam cerpen yang berjudul Oemar Bakri yang ditulis oleh Fajar Gitarena, guru SD Keputran IX di Jogjakarta diceritakan tentang seorang guru yang sudah mengabdi 30 tahun, tapi masih harus bepergian dengan sepeda motor butut buatan tahun 70-an berplat merah. Motornya sering mogok dan suatu ketika bannya kempes.

Karena sudah kebanyakan bekas tambalan maka Pak Oemar harus beli ban baru, tapi karena tanggal tua dan dia tidak punya uang maka ia harus naik bus untuk mengambil uang ke bank. 

Dalam perjalanannya ternyata semua orang yang ditemuinya adalah muridnya, supir bus, tukang tambal ban, kondektur bus, hingga costumer service Bank. Bahkan saat uang yang diambilnya dijambret ternyata tukang jambretnya juga muridnya, sama seperti pak polisi yang menangkapnya adalah juga muridnya.

10 tahun kemudian Oemar Bakri menerima surat keputusan pensiun. Selesai upacara banyak orang yang telah menunggunya, para anak didiknya yang kini telah menjadi direktur Bank, jenderal polisi, kondektur bus, tukang tambal ban, dan sebagainya. Mereka menghadiahi pak Oemar sebuah mobil. Sebuah penghargaan yang tulus yang dikumpulkan oleh ratusan muridnya yang sekarang sudah menjadi "somebody."

Tapi Pak Oemar Bakri malah memilih menyerahkan mobil penghargaan itu untuk sekolahnya, bukan utk dirinya sendiri. Sekolah itu jauh lebih membutuhkan daripada dirinya yang sudah tua dan hidup sendirian, katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun