Ruth sendiri mendorong Kathy untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Tommy, karena ia sadar bahwa ia sudah mendekati akhir hidupnya lebih dulu dari pada kedua temannya itu. Ruth telah berada pada kondisi sekarat dan memang akhirnya meninggal lebih dulu, menghadapi Completion-nya.
Saat Tommy sadar akan kepura-puraan Madame Marry yang mengumpulkan karya-karya seni anak-anak kloningan hanya sebagai upaya untuk mengelabuhi, seolah ia peduli pada perasaan-perasaan mereka padahal Madame Marry dan orang-orang normal yang diwakilinya sebenarnya merasa muak dan jijik dengan mereka para kloning, membuat Tommy menjadi histeris. Semangatnya untuk meraih mimpi dan cintanya kepada Kathy seperti menjadi redup seketika.
Tommy sadar bahwa waktunyapun akan tiba segera untuk mengalami Completion-nya, mati saat pengambilan organ keempat dari tubuhnya demi kelangsungan hidup orang lain di sisi yang sebaliknya. Tidak ada lagi mimpi untuk cinta, bahkan sekadar mimpi untuk menunda mati, pikirnya.
Film ini berisi "horor" yang dikemas dalam ketenangan, yang merupakan sebuah terobosan dalam ilmu medis yang semakin berkembang sejak tahun 1952, yakni masa di mana para dokter telah dapat menyembuhkan penyakit-penyakit yang dulunya tidak dapat disembuhkan. Penyembuhan melalui transplantasi organ yang diperoleh melalui para donor yang tak lain adalah anak-anak, para manusia kloning.
Persoalan ini menjadi horor dalam kemasan film fiksi ilmiah walau ditampilkan dalam alur yang tenang, karena menunjukkan dengan jelas bahwa ternyata manusia kloningpun memiliki perasaan dan emosi entah disadarinya atau tidak. Setidaknya, demikianlah yang terlihat pada Kathy yang juga menjadi narator pada film, yang menyukai lagu-lagu dari Songs after Dark saat mengalami perasaan cemburu, sedih dan kesepian saat melihat kemesraan Ruth dengan Tommy yang diam-diam disukainya.
Pada saat yang sama ia tampak seolah tidak sadar bahwa narasi kisah cinta tragis manusia kloning yang disampaikannya dengan tenang adalah sebuah horor kemanusiaan. Perasaan dan emosi sebagian "manusia" bahkan tidak memberi kesempatan yang cukup untuk menunda matinya, untuk sekadar bermimpi, demi kelangsungan hidup manusia lain di kehidupan nyata. Apakah kenyataan ini lebih baik dari mimpi?