Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature

Logika Politik vs Etika Ekologi

14 Januari 2019   18:37 Diperbarui: 14 Januari 2019   19:34 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
thetanjungpuratimes.com

Sudah menjadi semacam kesepakatan pada ras manusia sejak zaman peradaban berburu dan mengumpul sampai era industri dewasa ini, perilaku yang cenderung menempatkan dirinya sebagai tuan atas segalanya. Terutama di masa kini, manusia mungkin merasa diri sebagai tuhan-tuhan baru, yang seolah mempunyai legalitas dan dimaklumi secara luas oleh manusia lainnya untuk mengeksploitasi makhluk hidup lainnya, selain manusia.

Sebagai contoh misalnya, dengan alasan kebutuhan akan daging dan protein untuk kelangsungan hidup manusia, maka manusia bebas menentukan apa yang dibutuhkan dan apa yang tidak dibutuhkan babi yang diternakkan untuk diambil dagingnya, oleh sapi yang diambil daging dan diperah susunya, dan sebagainya.

Seolah babi dan sapi hanya membutuhkan pakan, kandang dan kotoran yang dibersihkan. Namun, seolah babi dan sapi tidak membutuhkan perjumpaan yang bebas dan rutin dengan sesamanya untuk kesehatan jiwanya.

Bahwasanya, babi dan sapi adalah makhluk hidup ya, namun tidak membutuhkan hal yang sama dengan manusia, karena babi dan sapi tidak mempunyai jiwa seperti halnya manusia.

Namun, manusia ternyata punya standar ganda terkait hal ini. Tidak hanya kepada babi dan sapi yang dianggap berbeda dari ras manusia. Bahkan kepada manusia yang lain pun, yang dianggap berasal dari kelas atau kelompok yang lemah, manusia dari kelas yang lebih kuat seolah merasa punya legalitas dan diterima oleh umum, sekalipun menindas.

Apa yang terlihat dari kejadian ini adalah, dalam hubungannya dengan sesama manusia, berlangsung logika politik. Bahwa kekuasaan dan kewenangan yang diperoleh secara atribusi, delegasi dan pemberian mandat sudah cukup bagi manusia untuk menggunakan kekuasaan dan kewenangannya.

Sekalipun ada perbedaan pendapat terkait pelaksanaan kekuasaan dan kewenangan, manusia mampu merundingkan berbagai kemungkinan, paling tidak diantara mereka yang kuat dan berpengaruh, untuk menjadi sebuah konsensus. Sekali konsensus dicapai, itu menjadi benar, sekalipun terkesan menindas oleh yang lemah, tapi mayoritas membenarkan tindakan itu.

Namun, dalam hubungannya dengan babi, sapi dan makhluk hidup lainnya, dengan alasan kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia, tidak pernah ada perundingan antara manusia dengan mereka itu, babi, sapi dan makhluk-makhluk itu. Tanpa perdebatan, manusia sepakat bahwa babi, sapi dan makhluk hidup lainnya tidak punya jiwa, dan mereka ada sepenuhnya untuk mendukung kelangsungan hidup manusia semata.

Dalam hubungan manusia dengan binatang dan tumbuhan ini, tidak ada proses politik dengan mempertimbangkan etika ekologi. Padahal, belum pernah tercatat di suatu tempat di muka bumi, yang menyatakan bahwa eksistensi manusia terancam oleh satwa atau tanaman tertentu. Kebanyakan yang dilaporkan adalah hampir punahnya satwa atau spesies tanaman tertentu akibat ulah manusia.

Dalam sebuah bagian novel filsafat Dunia Anna, manusia dibawa kepada sebuah gambaran tentang dunia dengan manusia sebagai satu-satunya yang menentukan segalanya. Satwa dan tanaman kebanyakan sudah punah dan hanya tinggal di gambar-gambar dengan keterangan asal-usulnya.

Gambaran tentang dunia dengan manusia sebagai pusat dari segalanya, sesungguhnya saat ini pun telah dan sedang berlangsung, mungkin dalam skala yang semakin membesar. Perkembangan pengetahuan yang pesat dalam masyarakat era informasi ini, membuat manusia melihat dirinya dengan segala kebutuhannya dan semua hal di luar dirinya dari sudut pandang yang lain bahkan sama sekali berbeda dari pandangan lama. Seolah, tidak ada lagi hal yang tidak bisa dicapai oleh manusia, dan karenanya ia menjadi tuhan bagi dirinya. 

Tidak ada pertimbangan lain yang perlu menjadi perhatiannya selama ia yakin bahwa itu yang dia butuhkan. Terkadang kebutuhan untuk sekadar memuaskan kesenangannya. Bukankah karena itu kenapa sebagian besar manusia memaklumi saja kalau ada orang-orang yang gemar berburu burung ke hutan-hutan? Karena bukan untuk dijadikan bahan makanan, maka tak lain hanya demi kesenangan.

Maka tidak mengherankan, kenapa doa-doa terasa menjadi tidak bermakna. Doa tinggal sekadar kata-kata yang diucapkan, tanpa ada pengakuan bahwa manusia menyadari realitas lain yang lebih besar di luar dirinya. Karena hujan dan angin, yang diperlukan untuk menumbuhkan tanaman pun sudah bisa direkayasa manusia. Maka ia tidak merasa penting mendoakan turunnya hujan. Bahkan, ada pikiran tentang skenario buruk manusia yang ditengarai mampu menciptakan bencana, entah itu banjir, longsor, gempa bumi, dan sebagainya, sebagai pengendali populasi mengatasi kelangkaan sumber daya akibat ulah nya sendiri.

Terlepas dari apakah kecurigaan spekulatif ini sebatas imajinasi atau proyeksi menuju ke sebuah visi, sedikit banyak mungkin ada benarnya bahwa manusia yang mempunyai bakat bawaan untuk memikirkan hal-hal yang tidak terbatas atau di luar batas dirinya, akan menggiring kita kepada sebuah masa depan yang sama sekali asing, dimana tidak ada kosa kata yang cukup untuk menggambarkannya. Kitab suci pun mungkin tidak ada mencatatkannya, sebagai sebuah petunjuk yang bisa dijadikan preseden bagi manusia yang hidup ribuan tahun kemudian, terutama bagi manusia yang sudah menempatkan dirinya sendiri sebagai tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun