Baru-baru ini kita banyak dihebohkan dengan pilihan kata anjay. Anjay dalam kamus sederhana barangkali berarti anjing atau asu maupun segawon (dalam Bahasa jawa).
Anjay sendiri tak pernah salah, ia hanya nama binatang atau hewan yang juga ciptaan Tuhan. Para penggunanya saja yang acap menyalahgunakan pemakaian kata anjay itu.
Sebutan anjay tak pernah berarti apapun, ketika ia hanya disimpan dalam tulisan di secarik kertas atau disave di dalam layar komputer kita. Ia menjelma menjadi reaktif kala istilah anjay meluncur dari mulut-mulut yang dipenuhi nafsu amarah dan kebencian.
Bahasa anjay tak pernah besar tanpa intervensi para pemakainya. Artinya kosakata anjay sangat dikendalikan oleh khalayak.
Masyarakat pun paham betul, mana ungkapan anjay yang disengaja sebagai canda atau mungkin beberapa kalangan menyebut untuk kepentingan relaksasi, maupun impresi gaul dengan sesama kawan atau komunitas.
Ketika anjay disitu terbit, maka absen dan nihillah emosional yang meluap dan kosong pulalah rasa tersungkur, terhina, teraniaya, terjelek dan perasaan inferior lainnya. Semua Nampak egaliter tanpa ada yang merasa tertindih dan atau menindih.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, yang memegang unggah-ungguh, teposliro, andhap asor bahkan saling menghargai dan menghormati, tentu sejak anak-anak hingga dewasa pun selalu mengedukasi anak-anaknya dengan kalimat atau Bahasa yang baik.
Penulis tidak ingin mengatakan kata pilihan kata anjay tidak baik, tapi sebenarnya yang paling berhak melabeli istilah anjay itu baik atau tak baik, pantas atau tak pantas adalah diri kita sendiri juga orang lain.
Apa yang kita lisankan merupakan bagian kepribadian kita, dalam ungkapan Jawa menuntun kita pada ajaran, "Ajining diri gumanthung ana kedaling lathi." Harga diri kita bergantung apa yang kita ucapkan. Bagaimana kalau diri kita sendiri atau anggota keluarga kita yang dibilang "anjay," dengan muka masam atau dengan perangai gusar oleh orang lain?
Sebagai orang dewasa tentu kita paham betul mana yang keluar norma atau masih di dalam pakem tatakrama atau mana yang melukai bahkan menyakiti orang lain atau bukan. Kita masing-masing punya takaran sendiri, mungkin saat seseorang mengungkapkan kata anjay ke orang lain tak menjadi masalah, karena ikatan pertemanan yang akrab, lain kisahnya kala istilah anjay dibuang pada orang lain dengan tekanan dan Bahasa tubuh (misalnya dengan mata nanar atau melotot).
Ketika "anjay," kita simpan rapat dalam kantong otak kita, maka selamatlah tanpa muncul musuh-musuh baru, namun sebaliknya masa yang lain akan menyerang atau dengan kekerasan (bullying) saat diumbar ke permukaan. Empan papan menjadi penting dalam soalan ini.