Ini menjadi sebuah gebrakan atau terobosan yang perlu dirawat secara kontinyu untuk menantang dan merubah status quo sehingga terjadi perubahan mind set secara menyeluruh.
Ia seperti tombol restart, yang membuat pikiran dan perilaku kolektif tidak lagi terkooptasi oleh paradigma lama yang distortif.
Tetapi diharapkan memberikan suatu lompatan kepada suatu perubahan yang baru dan berbeda dari pola tindakan dan pola pikir sebelumnya.
Sejak pusat hingga daerah bahkan desa, telah mereformasi diri bahkan melakukan Revolusi Mental yang diawali dengan adanya seleksi terbuka, percepatan pelayanan prima, PTSP, handle com-plain, Lapor Gub, Bupati/Walikota bahkan Kades dan inovasi lainnya.
Orientasi revolusi mental adalah merawat dan mengejawantahkan etos kerja, integritas dan gotong royong, sebagai pilar-pilar sikap hidup untuk berbuat serta membangun bangsa yang berkepribadian Pancasila.
Dalam konteks ini, setiap pemda maupun pemdes telah dan akan terus menginisiasi melakukan gerakan itu, dimulai dari jajaran Aparatur Sipil Negara (ASN), hingga Kades dan perangkat desanya diharapkan mampu menjadi teladan serta sebagai mata rantai reformasi birokrasi.
Pelayanan publik wajib kita optimalkan menjadi sebuah pelayanan yang baik, cepat, mudah, murah dan ramah, serta bersih, akuntabel dan transparan. Ini ukuran yang jelas.
Nah kalau kemudian masyarakat masih banyak yang protes atas pelayanan publik, berarti revolusi mental belum berjalan secara baik.
Basis pelayanan bukan hanya untuk pegawainya atau perangkat desa yang langsung berhadapan dan memberikan pelayanan kepada rakyat.
Tetapi juga bagi pegawai yang tupoksinya tidak langsung bersentuhan dengan pelayanan publik. Seperti di Sekretariat.
Jadi ketika ada tamu yang datang, siapapun dia, maka harus diberikan pelayanan yang baik dan ramah.