Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kampus Murung, Kampus yang Ditelikung

6 Agustus 2020   12:26 Diperbarui: 6 Agustus 2020   14:06 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kampus menjadi masa muda kita, karena di area ini segala rupa tersedia. Mau romantika, ada, atau ingin dialektika, sangat tersedia bahkan mendamba dinamika pun selalu terjaga. Ouw, Rondinda. Kampus dengan rerupa penghuni intelektualnya menjadi rumah besar atas rupa-rupi pemikirannya pula. Atas itu semua, tak sedikit kampus-kampus berkejaran menggaet peringkat top hits, lewat akses dan versinya masing-masing.

Meski pemerintah tak mewajibkan model pemeringkatan dalam menentukan hasil akhir pembelajaran siswa atau mahasiswa, namun peringat (grade) menjadi perburuan terjal dengan segalanya, seolah semakin tinggi peringat yang di dapat kian menduduki kasta tertinggi di dunia pendidikan tinggi. Kala kampus merasa dana tau beroleh predikat peringkat terbaik atau sekurangnya punya level akademik menjulang, namun lagi-lagi jika kampus mengklaim menduduki domain ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah seharusnya pada aras moralnya pun tetap menjadi kampiun pula.

Kita sedikit buka-bukan soal muramnya kampus kita. Selain korupsi, soalan plagiarism, kebijakan UKT yang belum fairness atau jual beli jabatan maupun perilaku civitas akademika yang membuat wajah bopeng kampus masih saja melata jika tak bisa dikatakan zero. Kita tengok bersama, baru-baru ini kasus predator fetish kain jarik di salah satu kampus di Surabaya, demi kepuasan seksual Mahasiswa beinisial G (Liputan6, 3/8/2020), kemudian kasus seorang dosen Bambang Arianto di Jogjakarta dengan rencana riset "swinger,"nya yang belakangan mengaku hanya fantasi dirinya (Republika.co.id, 3/8/2020).

Bahkan jauh sebelumnya kekerasan atau pelecehan seksual bergentayangan di kampus-kampus kita, seperti dosen pada mahasiswanya di kampus UNP (Padang) (Kompas.id, 29/2/2020), kasus serupa terjadi di kampus berlabel agama, yakni di IAIN (Gorontalo) (Kumparan.com, 18/1/2020), berlanjut pula kasus muram ini menimpa kampus UIN (Malang) (tirto.id, 17/5/2019(, yaitu 2 mahasiswa yang menjadi penyintas pak dosen.

Kampus yang murung kampus yang ditelikung, lewat praktik pelecehan seksual kembali tertumpah pada kampus UPR (Kalimantan) (merdeka.com, 27/8/2019) yang juga dilakukan dosen pria, kemudian berlanjut kekusutan yang menghentak di kampus UNJ (Jakarta) (idntimes.com, 16/1/2016) yang diduga melakukan perkosaan terhadap mahasiswanya.

Ada juga dosen UMY (Jogjakarta) yang melakukan kekerasan verbal pada 6 mahasiswinya kala magang di kantor lembaga kerjasama kampus tersebut. Dan, kasus pelecehan seksual sesama mahasiswa KKN kampus plat merah di Jogakarta nampaknya menjadi pelajaran penting bagi seluruh pemangku kepentingan.

Di belahan timur juga belum bebas atas kekerasan seksual ini, yaitu salah satu dosen berstatus kontrak di Poltekes Kupang NTT menggunting celana panjang mahasiswinya.

Melongok kejahatan di kampus-kampus tersebut, BEM FH-UI (2018) mengadakan survei pada 177 mahasiswi UI. Hasil menyatakan bahwa 21 orang pernah mengalami kasus kekerasan seksual di kampus.

Tak ketinggalan survei yang dilakukan oleh gerakan #NamaBaikKampus (2017), mengungkap total 174 penyintas kekerasan seksual yang memberikan testimoni mengenai kasus kekerasan seksual yang mereka alami di lingkungan kampus. Mirisnya lagi, di antara para penyintas tersebut, ternyata sedikit sekali yang melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak kampus, yaitu hanya 29 orang yang melapor, kurang dari 20 persen

Hasil survei FH Unpad (2-19 Mei 2020) menunjukkan bahwa, dari total 612 responden, 22,1 persen mengaku pernah mengalami kasus kekerasan seksual di kampus. Selain itu, 73.4 persen responden pernah mendengar adanya kasus kekerasan seksual di kampus, dan 10,6 persen mengaku pernah melihat secara langsung kasus tersebut.

Melihat letihnya kampus dalam menghadapi dan mengatasi soal esek-esek kampus ini, sekurangnya kampus dapat mengambil jalan awal atau dini, seperti menonjobkan dosen atau skorsing bagi mahasiswa dari aktivitas kampus, karena apa yang dilakukan aktor-aktor busuk ini telah mengingkari tepatnya mengkhianati core value pendidikan, yang harus bersilang asah, asih dan asuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun