Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hormat pada Skripsi

13 Juli 2020   15:06 Diperbarui: 13 Juli 2020   14:54 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aksi kurang etis membuang skripsi mahasiswa yang terjadi di Universitas Lancang Kuning (Unilak) baru-baru ini menjadi aksi fenomenal yang akhirnya menuai banyak komentar dari berbagai pihak.

Pedih dan naif rasanya, di tengah pergumulan mahasiswa yang berjuang habis-habisan untuk mempertahankan karya ilmiah akademiknya di hadapan para penguji, tiba-tiba menjadi komoditas rongsok dan menjadi konsumen manusia karung. Aksi ini menjadi tidak pantas di pusaran budaya akademik yang terus kita gelorakan.

Rupanya tak ada apresiasi sama sekali dari bos perpustakaan. Namun demikian, tak masuk akal kala petinggi perpustakaan kampus dengan gampangnya meloakkan bundel-bundel skripsi tanpa pemberitahuan sebelumnya ke pimpinan langsungnya.

Skripsi saham siapa? siapa yang mesti diedukasi? Ya semua pihak yang terlibat di dalamnya. Elit perpustakaan tak mungkin bekerja sendirian.

Otokritik menjadi penting dalam konteks ini. Apa yang kita lakukan sudah mewakili emosional civitas akademika. Memang arsip maupun data ada expired nya. Namun begitu, tentu kita tak boleh semena-mena memperlakukannya. Apalagi itu karya anak sendiri. Bagaimana rasanya jika hasil kreasi atau inovasi dari anak-anak kita kita buang secara serampangan.

Begunung-gunungnya skripsi di gedung kampus, berisiko rusak jika terlampau lama terbiar, kemudian yang pasti menerbitkan kekecewaan yang dalam jika harus dibuang dan menjadi viral lagi.. Ekstremnya, seolah menjadi sia-sia, tak ada baik-baiknya. Meski itu barang atau benda mati. Sesungguhnya bukan skripsinya, tapi proses membuat skripsinya yang harus jauh lebih dihargai ketimbang bekerja hanya asal. Atau sekadar asal bersih ruang dan gedung kampus.

Diakui atau tidak sepertinya jangkar moral akademisi atau khususnya kampus kita menjadi beku, sebeku nalar para elit Unikal. Bukan tak mungkin, peristiwa "pinggiran," itu karena arus komunikasi yang tersendat bahkan tercekat. Di sinilah semua pihak perlu buka kanal-kanal komunikasi yang responsif, mudah, murah dan informatif.

Fakta di atas hanya menujukkan lemahnya pihak kampus atas kinerjanya. Bagaimana tidak, perlakuan pembuangan skripsi menjadi tragedi akademik meski tidak secara langsung. Namun, lagi-lagi, aksi itu lebih mengindikasikan cara kerja yang tak punya nurani. Ia telah menghancurkan kaukus psikologis mahasiswanya.

Absen bahkan nihilnya teladan (role model) kampus yang memperlakukan benda sebagaimana kita sebagaimana manusia. Jika skripsi itu bisa bicara, ia akan memberontak atau melawannya dengan sekuat tenaga.

Semestinya etika dan etos mesti ada balancing. Keduanya harus beroleh bobot yang sama jika tidak ingin mutu elit kampus terperosok. Skripsi mestinya diberikan space pada tempat yang terhormat, begitu juga disertai maupun hasil riset lainnya bahkan rupa-rupi olah kreasi inovasi keluarga raya kampus.

Penulis juga jebolan kampus dan mengalami suka duka membuat skripsi, sangat menyayangkan tindakan buang-buang skripsi di atas. Padahal, jika kita cermat bisa menjadi bahan referensi bagi mahasiswa atau pihak lain yang ingin mengembangkan hasil riset tersebut untuk menyempurnakan dan bahkan bisa menjadi rekomendasi bagi pemangku kepentingan dalam perencanaan kebijakan.

Karya ilmiah skripsi merupakan penjelmaan penghormatan kampus pada para mahasiswa. Alangkah malangnya kita. Semoga ke depan kita tidak menjadi bangsa yang malang yang tak cakap menghargai jasa pahlawan termasuk mahasiswa.

Sekali lagi, sripsi menjadi sesuatu yang monumental bagi mahasiswa, saya memastikan mereka masih menyimpan dengan bagus dokumen ilmiah hasil keringatnya di tangan masing-masing. Pada satu masa dokumen itu bisa menjadi acuan dan memompa semangat bagi anak cucunya untuk bergiat selalu meningkatkan literasinya.

Persoalannya bukan soal secarik kertas atau selembar ijazah yang diakui, tapi lebih pad acara kita merawat ingatan dan kesadaran betapa pentingnya nilai-nilai heroik hingga menjelma menjadi karya ilmiah skripsi. Hal ini tak boleh berulang hanya gegara overload geduang atau ruang apalagi hanya cukup puas pada helai-helai rupiah yang hanya menjagal sense of crisis akademisi.

Butuh Ketegasan

Langkah pencegahan atas kasus serupa tak terjadi lagi, pihak kampus memberikan kuesioner atau informasi, pengumuman atau apapun bahasanya kepada para alumni untuk mendindaklanjuti tumpukan skripsi yang menggunung di kampus secara terbuka melalui media secara on line dan atau off line. Disepakati atau tidak, diselamatkan atau cukup dibuang.

Mungkin jilid-jilid akademik tersebut bisa dikomodifikasi menjadi destinasi baru sebagai wisata edukasi. Tinggal bagaimana kita mengemasnya tanpa menindih sisi originalitasnya juga tanp;a mengabaikan keringat mahasiswa.

Sekarang tak sedikit arsip, data, buku, serat maupun dokumen lama bahkan purba yang masih dapat kita baca, nikmati sebagai pun di-pundi intelektual berikut kesejarahannya. Coba saja tengok perpustakaan Radya Pustaka di Kota Solo dan beberapa pusat perpustakaan di Jakarta.

Kalaupun elit maupun pihak kampus beralasan, dokumen skripsi itu akan dialihmediakan dari manual fisik berupa kertas ke repository (perpustakaan digital), maka sudah seharusnya sejak sangat awal atau mulai sekarang, sekurangnya kampus harus sudah berani memulai menetapkan norma baru, budaya baru atau new norma baru yang memberlakukan naskah dokumen skripsi harus dalam format digital.

Dan kalaupun Rektor bilang saat ini merintis program tempat penyimpanan karya ilmiah seperti skripsi dalam bentuk digital (Kompas, 6/7/2020), sangatlah ketinggalan ketimbang kampus lain bahkan level di bawahnya. Dan, permintaan maaf maupun pemecatan kepala perpustakaan kampus sejatinya tak cukup menyantuni, tapi semestinya edukasi yang pengawasan yang tak boleh berhenti.

Artinya, sejak ajuan judul, lay out maupun naskah per bab-nya sudah dalam bentuk digital. Koreksi dosen pembimbing pun bisa langsung lewat digital. Acc persetujuan akhir maupun tandatangan bisa digital pula. Saya kira orang kampus sudah kampiun IT.

Hal ini tentu saja, akan disambut baik mahasiswa, karena mereka tak usah mengeluarkan kocek untuk memberi kertas atau tinta lagi juga tak perlu menambah ongkos penjilidan atau fotokopi naskah maupun penggandaan lain.

Dan pastinya tak bakal menambah limbah atau bisa membantu negara dengan tetap membuat ruang atau gedung perpustaakaan kampus tetap longgar tanpa menggunungnya tetumpukan skripsi, disertasi dana tau karya ilmiah lainnya. Ini yang harus ditegaskan kampus. Manual atau digital? Taka da salahnya kita perlu menaruh hormat pada skripsi-skripsi dan karya ilmiah kita, mahasiswa kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun