Kita ingin Undang-undang 6/2014 tentang Desa menjadi tolak ukur penting dalam mewujudkan perempuan desa yang berdaulat. Kedaulatan perempuan desa menjadi penting dalam pelaksanaan UU Desa sebab aparatur desa dan masyarakatnya dapat duduk bersama untuk menyusun program pembangunan desanya dengan memanfaatkan Dana Desa yang menjadi salah satu program unggulan masyarakat.
Harapan kita, perempuan desa punya tiga hal besar dalam hidupnya, yaitu berdaulat dalam politik. Â Salah satunya ditunjukkan lewat keterlibatanya dalam forum perencanaan RT/RW/kampung atau desa, mencoblos saat pilkada/pilpres, hadir dalam pertemuan warga, dll.Â
Kemudian, kemandirian dalam ekonomi. Artinya perempuan tak terjebak dalam ekonomi underground, tapi punya pekerjaan atau usaha ekonomi produktif secara permanen sehingga ketidaksementaraan pendapatan yang diperoleh tapi kepercayaan diri beroleh sumber ekonomi baru. dan, tak kalah hebatnya adalah berkepribadian dalam budaya.
Defisit Sosial
Konstlelasi yang harus dibangun dalam SDG's, perempuan perlu terus merawat nilai kearifan lokal, spirit kebangsaan serta membuat diri dan keluarganya sebagai rumah Pancasila.Â
Cermat dan waspada atas gempuran intrusi budaya asing, radikalisme, terorisme, intoleransi maupun narkoba, sehingga perempuan tetap membentengi keluarganya dengan balutan nilai etik dan etos yang berperadaban tanpa mengalami alienasi (kepanglingan) budaya.Â
Di sinilah perempuan bakal berkilau dengan kapasitas diri dan atau kompetensinya. Inilah kualitas SDM perempuan kian dibutuhkan dalam matematika pembangunan desa bahkan percaturan politik.
Memang, sejumlah kendala seolah masih memborgol kaum perempuan dalam setiap tahapan proses pembangunan desa, salah satunya adalah kurangnya penguasaan teknologi tepat guna. Karena SDA desa cukup melimpah, namun belum dikelola secara optimal, sehingga tak sedikit hasil bumi desa atau produk pertanian desa hanya dijual dalam bentuk mentah belum diolah menjadi komoditas yang bernilai tambah.
Jangan sampai sumberdaya atau potensi desa justru dikuasi orang lain, orang di luar desa. Oleh karena itu, Â kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan menjadi tantangan agar perempuan desa itu responsif atas ketidakberdayaannya, kemiskinannya sekaligus untuk memastikan proses penguasaan kembali ke desa.
Di luar itu, SDG's harus menjadi momentum kebangkitan perempuan desa dalam membanguan kembali semangat kebhinekaan, tenggang rasa dan toleransi yang dalam waktu yang relatif panjang menjadi salah satu identitas kuat masyarakat di pedesaan. Karena, saat ini kita sedang mengalami defisit sosial. Perempuan (desa) hari ini adalah perempuan inklusif, menjadi pioneer kebaikan, kebenaran dan inovasi.
Perempuan hari ini adalah yang menolak korupsi, gratifikasi dan pungli. Perempuan-perempuan yang punya sense of belonging atas desanya, sehingga mampu membalik keterpurukan kaum dan desanya seperti tujuan-tujuan SDG's yang mesti kita perjuangkan : nihilnya kemiskinan, absennya kelaparan, kesetaraan gender, pekerjaan layak, inovasi, permukiman yang berkelanjutan, perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh juga kemitraan, dll.