Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Cara Lain Mengingatkan Koruptor

15 Juni 2020   14:48 Diperbarui: 16 Juni 2020   12:31 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak sedikit mereka yang berkerja keras, berhujan, berpanas dengan disiplin yang kuat, tapi tak serta merta menaikkan kekayaannya secara material. Namun, ada orang-orang yang bekerja yang kelihatannya jauh lebih ringan, di ruang AC dengan gampang menumpuk uang dalam jumlah banyak.

Nasehat kakek-nenek, orangtua dan guru kepada kita semasa di bangku sekolah seringkali menekankan agar nanti anak cucunya bisa bekerja berbasis ijazah pendidikan tinggi, dan tak ingin garis keturunannya bekerja hanya mengandalkan otot kawat balung wesi alias pekerja kasar yang tentu saja penghasilannya pun jauh lebih rendah dibanding mereka yang bersekolah.

Namun, proses waktu, edukasi, lingkungan, karakter dan lingkungan membalik segalanya dan bahkan mematahkan petuah bijak di atas.        

Mereka yang terlibat praktik korupsi, gratifikasi dan pungli justru banyak dilakukan yang jebolan pendidikan tinggi : profesor, doktor, master dan sarjana membuat semakin panjang daftar para korptor di negeri ini.

Memang tak ada yang bisa memastikan dan menjamin semakin tinggi pendidikan seseorang akan terbebas dari aksi korupsi. Well educated, low atitude. Namun, juga tak ada jaminan semakin tinggi pendidikan semakin kaya.

Mereka yang tak bersekolah pun tak sedikit yang sukses bahkan membantu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, sementara yang bergelar akademisi banyak yang meringkuk di penjara gegara korupsi.

Menjadi kaya adalah hak setiap orang. Tapi cara memperoleh kekayaannya seperti apa. Melihat Gayus Tambunan, kaya raya, membaca Rohadi juga kaya raya, dan menelisik Nurhadi yang baru-baru ini ditangkap KPK, nampaknya tak kalah kaya raya. Mereka pernah menjadi ASN di Dirjen Pajak, PN Jakarta Utara, dan Mahkamah Agung RI. Mereka telah menjadi kuda troya pemberantasan korupsi.

Miris kita, selalu saja korupsi menyeka. Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia naik satu poin menjadi 38 dari skala 0-100 pada 2018. Kenaikan poin tersebut bisa dibanggakan setelah stagnan di skor 37 sejak 2016. 

Peringkat Indonesia pun naik ke posisi 89 dari 180 negara dibandingkan 2017 yang berada di peringkat 96 dari 180 negara. Hal ini seharusnya menjadi kaca benggala bagi setiap birokrat kita, khususnya para ASN yang acap disebut-sebut sebagai abdi negara untuk stop melakukan korupsi.

Namun demikian, BKN telah memberhentikan sebanyak 1.906 ASN pelanggar tindak pidana korupsi (Tipikor) berkekuatan hukum tetap. Para ASN tersebut telah menerima surat keputusan (SK) pemberhentian dengan tidak hormat. 

Total ada 2.357 SK PTDH yang seharusnya diterbitkan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Dengan kata lain saat ini baru 88% yang sudah selesai. Mereka terdiri dari ASN pusat 84 dan daerah 1.822 (detikfinance, 12/8/2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun