Kasus korupsi dana haji yang baru-baru ini mencuat membuat masyarakat geram. Dana ratusan triliun rupiah yang seharusnya dipakai untuk melayani jamaah justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Pertanyaannya: bagaimana agar hal memalukan ini tidak terulang lagi?
Masalah haji di Indonesia memang kompleks. Bukan hanya antrean panjang, tapi juga urusan logistik ratusan ribu jamaah setiap tahun, mulai dari tiket, hotel, konsumsi, kesehatan, hingga perlindungan. Sayangnya, tata kelola yang tersebar di banyak lembaga membuat sistem rawan bocor dan disalahgunakan.
Dengan besarnya dana dan jumlah jamaah, celah penyalahgunaan terbuka lebar. Kasus yang kemarin hanya puncak gunung es. Inilah alasan kenapa gagasan pembentukan Kementerian Haji terasa semakin relevan.
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, langkah berani membentuk Kementerian Haji dapat menjadi jawaban. Ada tiga keuntungan besar:
Satu pintu kebijakan -- tak lagi tercecer antara Kemenag, BPKH, Kemenhub, dan Kemenkes.
Transparansi dan akuntabilitas -- publik lebih mudah mengawasi, karena jelas siapa yang bertanggung jawab.
Fokus pelayanan -- dana haji benar-benar untuk jamaah, bukan kepentingan lain.
Bayangkan jika semua kebijakan haji langsung dikoordinasikan oleh kementerian khusus. Jamaah tak perlu resah soal keamanan dana. Publik juga bisa menggantungkan harapan pada satu institusi yang jelas, tanpa melempar bola antar lembaga.
Haji adalah rukun Islam kelima, ibadah seumur hidup yang ditempuh dengan pengorbanan besar. Banyak jamaah menabung puluhan tahun, menjual sawah, bahkan berjuang demi bisa berangkat. Negara wajib hadir untuk memastikan perjalanan suci ini bersih dari noda korupsi.
Kasus korupsi dana haji kemarin harus jadi alarm keras. Dan disinilah Presiden Prabowo bisa menunjukkan kepemimpinannya: melakukan reformasi kelembagaan, membentuk Kementerian Haji, dan memastikan pengelolaan dana serta pelayanan jamaah berjalan profesional.