Mohon tunggu...
Teguh Ostenrik
Teguh Ostenrik Mohon Tunggu... Seniman

Pelukis, pematung, sukak mikir, ARTificIAL Reef dan sukak masak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Yang Memudar

13 Februari 2025   11:33 Diperbarui: 13 Februari 2025   11:33 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua puluh tiga tahun bukanlah waktu yang singkat bagi sebuah pernikahan. Andi dan Stela telah melewatinya bersama---membangun keluarga, membesarkan dua anak, Dika (21) dan Rina (18), serta menghadapi pasang surut kehidupan. Namun, seiring waktu, cinta yang dulu membara perlahan meredup, tenggelam dalam rutinitas dan kesibukan.Andi semakin larut dalam pekerjaannya. Ia sering pulang larut malam, kelelahan, dan ketika berada di rumah pun, pikirannya tetap terpusat pada urusan kantor. Sementara itu, Stela menjalani hari-harinya sebagai ibu rumah tangga---mengurus anak, memasak, merapikan rumah---tanpa mendapatkan perhatian atau kasih sayang dari suaminya.
Stela mencintai keluarganya. Ia telah mengorbankan impian dan ambisinya demi membesarkan anak-anaknya. Namun, setiap malam, saat ia berbaring di ranjang yang sama dengan Andi, ia merasa kosong. Bahkan saat Andi menyentuhnya, semuanya berlangsung singkat, tanpa gairah, tanpa keintiman. Lima menit kemudian, Andi sudah tertidur di sampingnya, meninggalkan Stela dalam kehampaan yang semakin dalam.
Hingga suatu hari, seseorang dari masa lalu kembali hadir---Alice, teman dekat Andi semasa kuliah di Hamburg, yang kini kembali ke Indonesia setelah bertahun-tahun berkarier di Eropa.
Awal Sebuah Godaan
Hari itu, Andi mengundang Alice untuk makan malam di rumah mereka.
Saat membuka pintu dan melihat wanita itu berdiri di hadapannya, Stela merasakan sesuatu yang berbeda. Alice masih tampak anggun, elegan, dan senyumnya begitu menawan. Namun, lebih dari itu, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Stela merasa aneh---sebuah getaran asing yang selama ini tidak pernah ia rasakan.
"Alice! Sudah lama sekali!" seru Andi dengan antusias.
"Andi! Aku masih tidak percaya akhirnya bisa bertemu lagi setelah sekian lama," Alice tertawa lembut.
Stela menyambutnya dengan senyuman. "Selamat datang, Alice. Andi sering bercerita tentangmu."
Alice mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Matanya terpaku pada dinding yang dipenuhi lukisan besar dengan warna-warna ekspresif dan detail yang mengagumkan.
"Wow... Stela, ini luar biasa," katanya, mendekati salah satu lukisan yang menggambarkan seorang wanita berdiri di tepi pantai, memandang ke cakrawala yang buram. "Siapa yang melukis semua ini?"
Stela tersenyum bangga. "Putra sulungku, Dika. Dia sekarang sedang kuliah Seni Rupa di New York. Semua lukisan yang kau lihat di sini adalah hasil karyanya."
Alice menoleh dengan mata berbinar. "Serius? Dika yang melukis ini? Lukisan-lukisan ini penuh emosi, sangat dalam. Dia benar-benar berbakat."
Stela mengangguk. "Dia menggarap warna2 yang kuat, menjadi sebuah komposisi yang membara. Sejak kecil, dia sudah menunjukkan ketertarikannya pada melukis. Aku ingat, dia bisa duduk berjam-jam hanya untuk menggambar atau mencoret-coret dinding rumah kami. Aku sangat bangga padanya."
Alice tersenyum hangat. "Kau pasti ibu yang luar biasa, Stela."
Stela menatapnya, merasa dihargai dengan cara yang berbeda. "Aku hanya melakukan yang terbaik untuk anak-anakku."
Mereka menikmati makan malam sambil berbincang. Alice dengan penuh semangat berbagi kisah tentang kehidupannya di Eropa, dan Stela mendengarkan dengan penuh antusias. Ia terpesona dengan caranya berbicara, dengan sorot matanya yang hidup, dengan ekspresi wajahnya yang selalu menunjukkan ketulusan.
Saat Andi bangkit untuk menerima telepon kerja, hanya tinggal Stela dan Alice di meja makan.
"Kau wanita yang luar biasa, Stela," kata Alice tiba-tiba.
Stela tersenyum malu. "Aku? Aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa."
Alice menggeleng. "Tidak. Kau lebih dari itu. Aku bisa melihatnya."
Stela terdiam. Kata-kata itu menyentuh sesuatu yang telah lama terkubur dalam dirinya. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali seseorang membuatnya merasa istimewa.
Sejak pertemuan itu, Alice mulai sering menghubungi Stela. Awalnya, hanya sekadar bertanya kabar, tetapi percakapan mereka semakin akrab. Mereka mulai bertemu diam-diam di kafe kecil, berbagi cerita, tawa, dan perlahan-lahan, perasaan.
Bara Cinta
Hubungan mereka berkembang dari sekadar persahabatan menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Alice menawarkan sesuatu yang belum pernah Stela rasakan---kelembutan, perhatian, dan keintiman yang sesungguhnya. Alice tidak hanya mendengarkan, tetapi juga memahami. Ia tidak terburu-buru. Ia menyentuh Stela dengan kelembutan yang membuatnya menggigil, dengan kasih sayang yang selama ini hanya menjadi angan-angan.
Hingga suatu malam, saat Alice dengan hati-hati membelai wajahnya dan mendekatkan bibirnya, Stela tidak menghindar. Sebaliknya, ia menutup matanya dan membiarkan dirinya larut dalam perasaan yang selama ini ia pendam tanpa pernah menyadarinya---cinta yang sejati.
Namun, tak selamanya rahasia bisa tetap tersembunyi.
Pertengkaran yang Tak Terhindarkan
Suatu malam, setelah pertengkaran dengan Andi, Stela merasa titik jenuhnya telah mencapai puncak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini, Andi," suaranya bergetar.
Andi menatapnya curiga. "Ini tentang Alice, kan?"
Stela menelan ludah, lalu mengangguk. "Ya."
Andi terdiam, lalu tertawa sinis. "Jadi, kau meninggalkan keluargamu demi seorang wanita?"
Stela menatapnya penuh luka. "Kau tidak pernah memahami, Andi. Aku tidak pernah merasa hidup bersamamu. Bahkan dalam hubungan kita, aku tidak pernah merasa benar-benar menjadi seorang wanita."
Andi mengernyit. "Apa maksudmu?"
Stela menarik napas dalam, suaranya lirih namun tajam. "Aku tidak pernah merasakan kepuasan dalam pernikahan ini, Andi. Aku tidak pernah mencapai orgasme. Kau hanya melakukannya selama lima menit, lalu tertidur seolah aku ini hanyalah benda mati."
Andi tertegun.
Stela melanjutkan, air matanya jatuh. "Tapi Alice... dia berbeda. Dia sabar. Dia menyentuhku dengan penuh cinta, dia membuatku merasa diinginkan... dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya."
Andi menutup matanya, menghembuskan napas panjang. "Kamu tega, Stela..."
Stela menatapnya dengan mata yang sudah kehilangan harapan. "Aku tidak bisa bertahan hanya demi status. Aku ingin dicintai, Andi. Aku ingin dihargai."
Akhir dari Sebuah Kisah
Hari itu, saat Andi pulang dari kantor, rumah terasa begitu sunyi.
Ia masuk ke kamar, melihat lemari terbuka dan beberapa pakaian telah lenyap.
Di atas meja, ada sepucuk surat.
Maaf, Andi. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Aku mencintai Alice. Aku harus pergi.
Tangannya mengepal, meremas kertas itu dengan keras. Ia ingin marah, ingin berteriak, tetapi yang ia rasakan hanyalah kehampaan.
Di suatu tempat, di Surabaya mungkin Stela sedang tersenyum dalam pelukan Alice, menemukan kebahagiaan yang tidak pernah ia dapatkan dalam pernikahannya.
Apakah itu kebahagiaan sejati?
Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun