Pengalaman di UdK Berlin dan Refleksi pada Kurikulum MerdekaKetika saya mengikuti ujian pertengahan di UdK Berlin, apa yang saya alami terasa sangat berbeda dari ujian pada umumnya. Saya diundang masuk ke dalam ruang ujian, di mana lima profesor sudah duduk santai, melingkar di kursi masing-masing. Satu kursi kosong telah disediakan untuk saya, dan saya dipersilakan duduk di sana. Suasana ruangan tidak menegangkan seperti yang saya bayangkan sebelumnya, melainkan santai dan hangat.Salah satu profesor penguji membuka dengan bertanya, "Apakah kamu masih ada pertanyaan?" Tanpa ragu, saya memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya sesuatu yang menggelitik rasa penasaran saya, sebuah pertanyaan seputar teori warna Johannes Itten, khususnya mengenai kontras komplemen yang sering muncul dalam karya Caspar David Friedrich, terutama dalam lukisannya yang menggambarkan musim dingin dan salju.
Tak disangka, kelima profesor tersebut mulai menjawab pertanyaan saya secara bergantian. Diskusi pun mengalir seperti sebuah sesi brainstorming yang penuh ide dan wawasan. Saya semakin terpacu untuk bertanya lebih dalam, dan mereka terus menanggapi dengan antusias. Ruang ujian itu berubah menjadi sebuah forum diskusi yang menarik dan mendalam. Hingga tiba-tiba, salah satu penguji melihat jam dan berkata, "Wah, sudah hampir dua jam, sudah. Kamu lulus."
Saya terkejut dan langsung berujar, "Tapi dari tadi saya hanya bertanya, belum pernah menjawab pertanyaan apa pun." Salah satu profesor dengan tersenyum menjawab, "Kalau kamu mau jadi maestro, ya harus bisa bertanya!" Pernyataan itu sangat membekas dalam pikiran saya. Betapa pentingnya kemampuan bertanya sebagai tanda pemikiran kritis dan keingintahuan yang dalam---dua hal yang menjadi ciri khas seorang pembelajar sejati.
Pengalaman ini mengingatkan saya pada sesuatu yang serupa dan terjadi pada anak-anak saya di Francis School di BSD. Sebelum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mencanangkan Kurikulum Merdeka, sekolah ini sudah mengadopsi metode pendidikan yang terinspirasi dari Finlandia. Sistem ini berpusat pada pembelajaran berbasis proyek dan kolaborasi, di mana murid dan guru bersama-sama menentukan apa yang akan dipelajari.
Guru di sana lebih dilihat sebagai coach daripada seorang pengajar formal. Anak-anak saya, yang dulu sangat pemalu dan introvert, kini tumbuh menjadi pribadi yang terbuka dan percaya diri. Mereka sudah duduk di kelas 10 dan 11, dan kami bisa berdiskusi mengenai apa saja. Saya melihat bagaimana metode ini memungkinkan mereka untuk mengembangkan pemikiran kritis, belajar bekerja sama, dan menemukan solusi kreatif---mirip dengan pengalaman saya di UdK Berlin.
Apa yang terjadi di Francis School ini, pada dasarnya, adalah perwujudan dari filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara: "Tut Wuri Handayani." Saya sungguh bersyukur karena konsep ini kini diterapkan secara lebih luas di Indonesia melalui Kurikulum Merdeka. Terima kasih kepada Nadiem Makarim, yang telah membuka jalan bagi pendidikan berbasis kebebasan, kreativitas, dan kolaborasi.
Pengalaman saya di UdK Berlin dan apa yang saya lihat dalam perkembangan anak-anak saya menjadi bukti bahwa pendidikan sejati adalah tentang membangun rasa ingin tahu, keberanian untuk bertanya, dan kemampuan berpikir kritis. Inilah yang membentuk generasi masa depan yang mampu menghadapi dunia dengan wawasan luas dan pemikiran terbuka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI