Tulisan ini lahir dari sebuah kerinduan yang panjang. Sebelum jauh membaca, aku ingin menegaskan satu hal: nama yang kutuliskan di sini bukanlah nama asli. Aku sengaja menggantinya menjadi Irina, agar inti dari pesan ini tetap sampai tanpa harus menyebut identitas yang sebenarnya.
Ada saat di mana kata-kata tidak lagi sekadar tulisan, melainkan sebuah jembatan antara hati yang merindu dan jiwa yang ingin damai. Inilah alasanku menulis---bukan hanya untuk dibaca orang lain, tapi terutama untuk satu nama yang selalu hadir dalam pikiranku: Irina.
Kadang, kita mengira waktu bisa menyembuhkan segalanya. Padahal, ada luka yang justru semakin menganga jika dibiarkan. Aku pernah mencoba menutup mata, berpura-pura tidak merasakan kehilangan. Namun, setiap langkah membawaku kembali pada satu titik yang sama: rindu.
"Kadang, jarak bukan hanya soal ruang, melainkan soal hati yang memilih untuk pergi."
Luka yang Membuat Jarak
Aku tidak menyangkal, kesalahan pernah terjadi. Kekacauan yang tidak seharusnya ada membuat segalanya menjadi rumit. Mungkin dari situlah engkau, Irina, memilih menjauh. Dan aku, dengan segala penyesalan, menyadari betapa sulitnya meluruskan sesuatu yang sudah terlanjur kusut.
Aku menuliskan ini karena aku sudah lelah. Lelah mencari kabarmu di media sosial, lelah menebak keberadaanmu, dan lelah menunggu tanpa kepastian. Namun, aku belum lelah berharap bahwa suatu hari, kita bisa bertemu.
Bukan untuk mengungkit masa lalu. Bukan untuk membuka luka. Tapi untuk menyudahi kebisuan yang terasa seperti dinding tinggi di antara kita.
"Tidak ada damai yang lebih indah daripada ketika dua hati yang renggang memilih untuk kembali saling memahami."
Surat yang Tertahan