Pihak Ducati menyadari situasi ini. Direktur Olahraga Ducati, Paolo Ciabatti, sempat mengatakan: "Kami tahu Pecco adalah pembalap dengan kemampuan luar biasa. Masalahnya bukan pada dirinya, melainkan pada bagaimana motor baru ini berinteraksi dengan gaya balapnya."
Faktor mental juga tak bisa diabaikan. Dua gelar beruntun membuat ekspektasi publik dan tim semakin tinggi. Ketika performa mulai goyah, tekanan berlipat ganda datang dari media, sponsor, dan para pendukung. Bagnaia sendiri mengakui, "Setelah kehilangan gelar 2024 dengan selisih kecil, rasanya seperti luka yang belum sembuh. Itu memengaruhi cara saya menghadapi musim ini."
Kesalahan kecil yang seharusnya bisa dihindari pun berulang. Ban depan cepat habis, strategi set-up tidak selalu tepat, dan hasil yang diperoleh jauh dari potensinya. Di saat seperti itu, rekan setim dan rival utamanya justru tampil lebih konsisten.
Kekecewaan itu semakin dalam ketika ia membandingkan dirinya dengan Mrquez. Sementara Mrquez bisa cepat beradaptasi, Pecco masih mencari cara menemukan ritme. "Saya mencoba segalanya, tapi sensasinya tetap berbeda. Saya merasa motor ini tidak mendengarkan bahasa tubuh saya,"Â ujar Bagnaia frustrasi setelah seri di Mugello.
Sementara itu, General Manager Ducati, Luigi Dall'Igna, menambahkan: "Kami sedang bekerja keras dengan tim teknik untuk mengembalikan rasa percaya Bagnaia pada motor. Ia bagian penting dari proyek Ducati, dan kami yakin solusi akan ditemukan."
Kondisi fisik dan karakter sirkuit juga memainkan peran. Di lintasan dengan tikungan cepat, masalah "front-end feel" semakin terasa. Ban depan bekerja lebih keras, sementara Bagnaia terpaksa menahan agresivitas yang dulu jadi senjatanya.
Di awal musim 2025, hasil-hasil mengecewakan mulai mengundang tanda tanya besar: apakah Bagnaia masih bisa mempertahankan statusnya sebagai raja Ducati? Gap poin di klasemen semakin melebar, sementara performa di sprint nyaris selalu di bawah standar.
Meski begitu, ia tidak menyerah. Bagnaia terus melakukan tes, mencoba berbagai konfigurasi set-up, bahkan sempat mempertimbangkan untuk menggunakan kembali motor musim sebelumnya demi mencari stabilitas.
Di sela kekecewaannya, ia masih menegaskan tekad:Â "Saya tahu ini masa yang sulit, tapi saya tidak akan berhenti berjuang. MotoGP adalah tentang mengatasi keterbatasan, dan saya ingin membuktikan saya bisa bangkit."
Kini perjalanan Bagnaia seperti sebuah ujian panjang. Dari seorang murid Valentino Rossi yang penuh harapan, menjadi juara dunia dua kali, lalu harus menghadapi periode krisis. Apakah ia akan kembali menemukan jalannya menuju puncak?
Jawabannya mungkin tidak instan. Tapi satu hal yang jelas, masa depan Bagnaia di MotoGP akan ditentukan oleh kemampuannya mengatasi kombinasi faktor teknis, mental, dan persaingan sengit. Sejarah telah membuktikan, pejuang sejati tidak diukur dari jumlah kemenangannya, melainkan dari cara ia bangkit setelah jatuh.