Ada rasa jenuh yang sulit kujelaskan. Hidupku seperti berputar di lingkaran yang sama, sementara rindu terus menghantui di sela-sela pekerjaan. Aku mencoba bertahan dengan kesibukan, namun bayanganmu selalu hadir, menolak pergi dari ingatan. Menulis inilah caraku untuk jujur---pada dunia, dan pada diriku sendiri.
Pagi itu jam dinding kantor baru menunjuk pukul tujuh tiga puluh, tetapi pikiranku sudah melaju jauh mendahului jarum detik. Kopi panas di meja masih mengepulkan asap, sementara layar komputer menampilkan daftar email yang menunggu balasan. Tumpukan dokumen terasa seperti dinding yang tak pernah surut, seolah setiap hari aku berlari dalam maraton yang tak kunjung selesai.
Sebagai bagian dari tim Procurement & General Affair, pekerjaanku tak pernah sederhana. Ada permintaan mendadak dari manajemen, vendor yang telat mengirim barang, hingga urusan administrasi yang harus rapi tanpa celah. Detail kecil bisa menentukan keberhasilan proyek besar. Satu kesalahan saja bisa membuat rantai pekerjaan berantakan. Tekanan itu nyata, tapi entah bagaimana aku sudah terbiasa menanggungnya.
Sering kali aku berhadapan dengan vendor yang sulit dihubungi. Telepon tak diangkat, pesan hanya dibaca tanpa balasan, atau janji kirim barang yang meleset tanpa penjelasan. Saat itu, aku belajar menahan emosi. Aku mengubah amarah menjadi diplomasi. Rasanya seperti bernegosiasi dengan takdir, bukan hanya dengan manusia.
Namun di balik semua kesibukan itu, ada sisi lain yang tak pernah bisa kututupi: rasa jenuh. Hidupku terasa berputar di lingkaran yang sama. Pagi berangkat kerja, sore pulang, malam dihadapkan pada sepi. Tidak ada yang benar-benar mendengarkan isi hatiku, bahkan orang-orang terdekat.
Orang tuaku sering menilai dari kekurangan dan kegagalanku, seolah kehadiranku hanya menambah beban. Mungkin itulah sebabnya aku menulis di sini. Aku tak peduli tulisanku indah atau berantakan, enak dibaca atau tidak. Yang penting, aku bisa jujur. Menulis adalah caraku berteriak tanpa suara, melepaskan uneg-uneg yang tak pernah kudengar balasannya dari dunia nyata. Dalam hati kecilku, aku masih berharap suatu hari ia membaca jeritan hatiku ini.
Di kantor, aku selalu berusaha tampak sibuk. Fokus pada laporan, teliti pada dokumen, bahkan rela lembur agar terlihat total. Tapi saat jam istirahat makan siang atau ketika keluar sebentar untuk merokok, pikiranku selalu kembali padamu. Rindu yang tak bisa kusembunyikan. Aku ingin mendengar suaramu, melihat senyummu, merasakan lagi kehangatan yang dulu pernah jadi rumah.
Ada kalanya aku nekat ingin menemuimu. Aku berpikir, mungkin dengan begitu pikiranku bisa tenang. Namun kenyataannya, kau menolak dengan dingin, bahkan dengan ancaman. Aku sadar, jika kupaksakan, luka yang kau miliki akan semakin besar. Maka aku memilih menahan diri, meski rinduku terus menggerogoti.
Sering aku bertanya pada Tuhan: apa salahku? Mengapa kau bisa begitu membenciku? Aku mencari jawabannya di sela kesibukan kantor, di antara rapat-rapat panjang, atau di tengah malam yang sunyi. Tapi jawaban itu tak pernah datang. Yang ada hanya rasa sakit bercampur kerinduan yang tak pernah benar-benar padam.
Hari-hari awal setelah ditinggalkan adalah masa paling berat. Aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan, seolah target, rapat, dan laporan bisa menutup luka. Namun, begitu sampai rumah, sepi menyerang tanpa kompromi. Ponsel yang dulu ramai pesan kini diam. Malam yang dulu hangat kini dingin.
Meski begitu, pekerjaanlah yang diam-diam menyelamatkanku. Setiap tugas yang menumpuk memaksaku untuk tetap bergerak. Setiap rapat mengalihkan pikiranku, meski hanya sementara. Setiap dokumen yang harus kuselesaikan membuatku merasa masih berguna. Rutinitas yang melelahkan itu justru menjadi tambalan bagi hatiku yang retak.
Namun kejujuran harus diakui: aku belum bisa melupakanmu. Wajahmu masih hadir di sela layar komputer. Senyummu muncul tiba-tiba di antara angka-angka Excel. Suaramu masih terngiang ketika aku berhenti sejenak, menatap jendela kantor yang berembun. Bayanganmu seperti hantu yang tak pernah mau pergi.
Aku mencoba mengisi ruang kosong itu dengan hal-hal sederhana. Jogging di pagi hari, menulis catatan harian selepas kerja, hingga menyusuri pantai ketika ada tugas ke luar kota. Kadang berhasil, kadang tidak. Sebab, meski aku berlari sejauh apa pun, kerinduan ini tetap menempel erat.
Ada hari-hari ketika aku merasa kuat, mampu tersenyum, bahkan bisa bercanda dengan rekan kerja. Tapi ada pula hari-hari ketika aku begitu rapuh. Di tengah rapat, tiba-tiba aku teringat bagaimana dulu kau menenangkanku lewat pesan singkat. Saat lembur malam, aku merindukan suaramu yang selalu menegurku agar tidak begadang. Luka itu seperti gelombang, datang dan pergi tanpa bisa kutahan.
Kini aku mulai mengerti, mungkin memang tidak semua luka bisa sembuh. Ada luka yang hanya bisa diterima, bukan dihapus. Dan selama aku belum bisa melupakanmu, pekerjaan menjadi satu-satunya hal yang bisa kugenggam. Ia adalah jangkar di tengah ombak batin yang tak menentu.
Hidup mengajariku satu hal: bukan soal menghindari luka, tapi bagaimana tetap melangkah meski terluka. Bukan soal mencari cinta baru, tapi bagaimana bertahan meski hati masih kosong. Dan bukan soal selalu kuat, melainkan berani mengakui rapuh.
Dari meja kerja hingga ruang hati, aku belajar bahwa setiap luka punya makna. Ia bisa jadi jeruji, tapi juga bisa jadi jembatan menuju pemahaman. Aku belum bisa melupakanmu, tapi aku tahu, setiap hari aku sedikit lebih kuat dari kemarin.
Di meja kerja aku ditempa,
oleh deadline, rapat, dan suara dunia.
Di ruang hati aku terluka,
oleh janji yang runtuh tanpa sisa.
Namun dari runtuh aku belajar,
bahwa bertahan adalah kunci sabar.
Meski bayanganmu belum sirna,
aku tetap berdiri, fokus pada kerja.
Kini aku bukan lagi pecahan,
aku adalah kesatuan dari luka dan pelajaran.
Antara karier dan cinta,
aku menemukan diriku---
lebih kuat, meski masih merindu setia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI