Mohon tunggu...
Teguh H Nugroho
Teguh H Nugroho Mohon Tunggu... Procurement - GA

Aku mencoba merangkai setiap isi hatiku dalam kata, hanya untuk kamu — satu-satunya alasan mengapa aku masih percaya pada cinta

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menyaring Masukan: Antara Niat Baik, Jerat Emosional, dan Kesehatan Mental

21 Juli 2025   08:10 Diperbarui: 21 Juli 2025   08:10 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Koleksi depositphoto.com

Dalam hidup dan pekerjaan, kita tidak bisa hidup sendirian. Kita butuh teman bicara, tempat berbagi cerita, dan kadang---ketika keputusan terasa berat---kita mencari masukan dari orang lain. Masukan itu bisa datang dari teman kantor yang tiap hari melihat kita bergulat dengan tekanan deadline dan dari atasan. Atau datang dari teman lama di luar kantor, yang lebih mengenal sisi personal dan emosional kita.

Namun, satu hal yang perlu kita sadari: tidak semua masukan layak untuk diikuti.

1. Ketika Kepercayaan Jadi Titik Awal

Saat kita bercerita, apalagi menyangkut masalah pribadi atau pekerjaan, kita melakukannya karena percaya. Kita percaya bahwa orang itu cukup bijak untuk mendengar, cukup peduli untuk mengerti, dan cukup jujur untuk memberi saran terbaik. Tapi kenyataannya, saran yang kita terima tidak selalu objektif. Ada yang memberi saran berdasarkan pengalaman mereka, ada yang hanya berasumsi, bahkan tak sedikit yang memasukkan perasaan iri, dendam, atau kepentingan pribadi ke dalam "saran" mereka.

Di sinilah pentingnya kemampuan menyaring dan menilai sebuah masukan, karena tidak semua saran datang dari niat murni untuk membangun.

2. Masukan Membangun vs Masukan Menjerumuskan

Masukan yang membangun biasanya ditandai dengan:

* Mengandung sudut pandang logis dan rasional

* Disampaikan dengan empati, bukan dengan nada meremehkan

* Tidak memaksa

* Mengajak kita berpikir panjang, bukan buru-buru bertindak

* Berdampak positif untuk jangka panjang, meskipun terasa pahit di awal

Contoh masukan membangun:

"Kalau kamu resign sekarang, mungkin akan lega sesaat. Tapi coba pertimbangkan dulu, sudah ada alternatif penghasilan belum? Pikirkan dulu, jangan impulsif."

Sebaliknya, masukan menjerumuskan biasanya seperti ini:

* Terlalu emosional dan subjektif

* Memprovokasi atau mengadu domba

* Mengarah pada keputusan instan tanpa pertimbangan dampaknya

* Kadang dibalut dengan manipulasi emosional

Contoh masukan menjerumuskan:

"Udah lah, lawan aja bos kamu itu. Jangan mau diinjak-injak. Tunjukin kamu juga punya harga diri!"

3. Teknik Menyaring Masukan

Agar tidak terperangkap dalam jerat saran yang salah, kita perlu teknik menyaring:

a. Pisahkan Emosi dari Realita

Saat kita sedang marah, kecewa, atau sedih, semua saran akan terdengar "masuk akal". Maka, jangan ambil keputusan saat hati sedang panas. Dengarkan saran itu, simpan dulu. Evaluasi saat kepala sudah dingin.

b. Tanyakan Motif di Balik Saran

Tanyakan dalam hati, apa motif dia memberi saran ini? Apakah dia benar-benar peduli? Atau dia hanya ingin menunjukkan bahwa dia lebih tahu? Atau... ingin melihat kita gagal?

c. Uji Konsistensi

Lihat rekam jejaknya. Apakah dia orang yang selama ini bijak dalam bertindak? Apakah dia menjalani hidup dengan prinsip yang sehat? Kalau tidak, kenapa harus menaruh hidup kita di atas opininya?

d. Gunakan Prinsip "Kalau Ini Saran untuk Orang Lain, Apa Aku Akan Setuju?"

Bayangkan orang lain menerima saran itu. Apakah kamu akan menyarankan hal yang sama jika kamu berada di posisi netral? Ini membantu menguji apakah saran itu logis atau hanya cocok secara emosional.

4. Ketika Terjebak: Saran Buruk tapi Kita Terpaksa Ikuti

Ada situasi pelik yang sering terjadi: kita tahu saran itu salah arah, tapi kita takut menolaknya karena:

* Takut kehilangan teman

* Merasa berutang budi

* Ingin menjaga hubungan baik

Masalahnya, jika kita memaksakan diri menerima saran hanya karena ingin menyenangkan orang lain, kita sedang mengorbankan masa depan kita demi hubungan yang mungkin tak seimbang. Jika dia benar-benar teman yang baik, dia tidak akan memaksa atau marah saat kita memilih jalur berbeda. Teman sejati akan tetap ada, bahkan saat kita tidak mengikuti sarannya.

Tapi jika dia menjauh hanya karena kita tidak mengikuti sarannya, maka mungkin hubungan itu sudah tak sehat sejak awal. Budi baik di masa lalu tidak bisa dijadikan alat kendali atas hidup kita sekarang. Kita boleh menghargai masa lalu, tapi tetap bertanggung jawab atas masa depan kita sendiri.

5. Pilihan Ada di Tangan Kita

Masukan adalah informasi, bukan perintah. Kita bisa mendengarkan semua, tapi tidak harus mengikuti semua. Justru, semakin banyak saran yang kita terima, semakin penting untuk membentuk filter yang sehat.

Filter ini dibentuk dari:

* Nilai dan prinsip pribadi

* Tujuan hidup jangka panjang

* Pengalaman pribadi (trial & error)

* Insting yang tajam

6. Penutup: Hargai Saran, Tapi Jaga Kedaulatan Diri

Dalam hidup, kita akan terus menerima banyak masukan---baik dari mereka yang tulus maupun dari mereka yang punya niat terselubung. Tapi pada akhirnya, yang akan menjalani konsekuensi dari setiap keputusan adalah kita sendiri. Maka, belajarlah menyaring: dengar dengan hati, pilah dengan logika, dan putuskan dengan kesadaran penuh.

Sebab hidup ini bukan tentang menyenangkan semua orang---tapi tentang tetap utuh dalam prinsip, waras dalam tekanan, dan bertumbuh dari setiap tantangan.

Jika kamu masih ragu atas suatu saran, mungkin itu sinyal paling jujur dari dalam dirimu sendiri: tinjau ulang, sebelum kamu kehilangan lebih dari sekadar teman.

Koleksi depositphoto.com
Koleksi depositphoto.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun