Mohon tunggu...
Teguh Ananto
Teguh Ananto Mohon Tunggu... Administrasi - Tinggal di Bengkulu

pengopi, bukan perokok

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Pesepeda Itu

2 Juli 2020   22:24 Diperbarui: 2 Juli 2020   22:18 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ahad siang,  biasanya saya sudah berangkat ke tempat kerja.  Di luar kota. Perlu empat jam untuk sampai ke sana. Sengaja berangkat hari Ahad biar sempat istirahat. Senin bisa fresh. Tidak terkena sindrom I Hate Monday.

Namun hari ini terpaksa saya berangkat bakda Magrib. Ada keperluan yang tak mungkin saya tinggalkan. Tak apalah. Kondisi mobil oke. Minggu lalu baru ganti oli. Ban pun baru. Maka saya stel yakin aja untuk berangkat malam. Bukan gelap yang membuat takut. Namun ada ruas jalan membelah hutan lindung, yang pasti sepi, yang pasti tak ada rumah di kanan kiri, yang pasti akan kesulitan mencari bantuan ketika mobil mengalami permasalahan, bahkan semisal pecah ban.

Dengan bismillah, gelap malam mulai saya tembus. Dari jalan perumahan, berbelok ke jalan raya  Mengarus bersama kendaraan lain yang searah. Tiba di batas kota, meluncur memasuki jalan negara yang lebar dan mulus, sebelum nantinya masuk ke jalan kolektor yang melewati desa demi desa hingga perbatasan hutan lindung. Setelah itu, yang ada hanya gelap, sepi, menanjak, menikung, Sekali dua masih berpapasan dengan kendaraan. Dan itu membuat lega. Menunjukkan bahwa di depan sana situasi aman, tidak ada longsor atau gangguan lain.

Selagi pikiran saya kosong akibat sepi, tiba-tiba pandangan saya dikejutkan dengan adanya sesosok anak kecil seperti terjatuh dari sepeda. Mungkin umur 7 atau 8 tahun. Jelas tersorot lampu mobil saya. Sekitar sepuluh limabelas meter didepan. Anak itu terduduk memegangi lutut. Sepedanya tergeletak di samping. Spontan saya menghentikan mobil. Mendekati dan menanyakan keadaannya.

"Kamu kenapa, Nak ?"

"Gak apa-apa, Om.  Capek,  mau pulang. Jadi duduk dulu"

"Rumah kamu di mana?"

Ia menyebutkan nama suatu desa. 

"Jauh benar kamu main sepedanya. Emang gak dicari orang tuamu sampai malam-malam gini.  Gak takut segelap ini ?" saya menyerocos nanya.

"Dari rumah tadi, jalan menurun terus Om, jadi gak terasa.  Pas pulang menanjak, saya gak kuat".

Benar juga. Kebetulan desa yang dia sebutkan tadi akan saya lewati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun