"Sebagai Mahasenapati, siapakah yang akan mengawal Kakanda Karna?"
"Gusti Karna telah meminta Ayahanda, Mahaprabu Salya sebagai pengawal"
"Bukankah Ayahanda Salya adalah Senapati Pendamping ?"
"Ampun beribu ampun, Gusti Ayu. Â Sejak menerima pengangkatan sebagai Mahasenapati, Gusti Karna tak ingin ada senapati pendamping"
"Lalu ..... Ayahanda Salya?" Surtikanti mendesak.
"Sebagai kusir"
Blaar. Sebuah kilat menyambar. Surtikanti terhenyak. Nafasnya sesak. Di luar hujan merintik. Pandangan Surtikanti menembus gerimis.
"Duh Batara Amisesa. Setega itukah perlakuan kakanda pada ayahanda, ayah mertuanya", sang Dewi mengisak. Terbayangkan, Raja Binatara seperti Prabu Salya, yang kemampuan tempurnya tak terlawan, Â hanya ditempatkan sebagai kusir kereta. Padahal Bhisma dan Drona, Mahasenapati Kurawa sebelumnya, tak berani merendahkan seperti itu. Keduanya selalu menempatkan Salya sebagai senapati pendamping.
"Bukankah Khrisna yang kesaktiannya tak tertandingi, juga rela hanya menjadi kusir Arjuna, Gusti Ayu?" Bujang abdi dalem mencoba membandingkan.
"Tidakkah engkau tahu, siapakah Khrisna itu, wahai Bujang. Dialah Wisnu, sang pengendali perang ini. Sais hanyalah sarana baginya mewujudkan yang tertulis di kitab Jitapsara. Tarikan keretanya adalah takdir bagi kstaria yang ditujunya. Dalam kereta Arjuna, Khrisna lah yang berkuasa. Dalam kereta Mahasenapati Karna, siapakah menurutmu yang berkuasa ?"
Pagi itu, Surtikanti kembali ke sanggar pamujan. Asap setanggi mengepul dari padupan. Namun bukannya melayang lurus, kali ini asap dupa berputar-putar dan berpendar sebelum mencapai langit.