Mohon tunggu...
Abdul Rahman
Abdul Rahman Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan penulis

Kenikmatan yang diberikan Allah juga ujian.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Keluarga Soemijat (4)

21 Juli 2019   20:44 Diperbarui: 21 Juli 2019   20:52 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setelah Lulus HIS (Hollandsche Indische School)

Soemijat cukup beruntung dapat masuk ke sekolah HIS (Hollandsche Indische School), berbeda dengan teman lainnya yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat atau Tweede Inlandsche School (sekolah angka loro) yang hanya ditempuh selama dua tahun.  Di sekolah angka loro ini, hanya belajar membaca dan menghitung. Intinya agar tidak buta huruf saja.  Pengantar  dalam mengajar menggunakan bahasa daerah setempat.

Jika selesai Sekolah Angka Loro, dapat melanjutkan lima tahun lagi di Schakel School.    Lulus dari Schakel School ini setara dengan lulus HIS. Sekolah di HIS pengantar menggunakan bahasa Belanda. Begitu masuk HIS, Soemijat  menjadi anak yang serius dalam belajar. Di sekolah inilah Soemiyat belajar bahasa Belanda dan yang pasti diberi pelajaran tentang manner. 

Berbeda dengan saat masih anak-anak yang cenderung ngeyel. Setelah mulai sekolah Soemijat menjadi anak yang sangat penurut. Apa yang menjadi nasihat guru dan orangtuanya selalu diikuti dan dijalankan.

Kecintaannya terhadap sekolah melebihi dari murid yang lain. Pernah satu hari, hujan sangat deras diikuti angin kencang. Semua murid tak ada yang berangkat ke sekolah. Kecuali Soemijat. Dia tetap datang ke sekolah. Sampai akhirnya  sang guru memerintahkan untuk pulang ke rumah sebab kegiatan mengajar ditiadakan.

Padahal untuk sampai ke sekolah yang berjarak 4 km dari Banjaranyar ke Balapulang, Soemijat harus menempuhnya dengan jalan kaki. Setiap pagi, Turmi, Ibu tirinya menyiapkan  nasi wadang yang digoreng tanpa minyak lalu dikepal-kepal dicampur garam.


Soemijat dibekali nasi satu kepal yang dimakan sambil berjalan menuju ke sekolah.  Selain berbekal sabak untuk menulis pelajaran, Soemijat juga membawa sarung. Sarung itu digunakan setelah pulang sekolah untuk membonceng pedati yang menuju ke arah Banjaranyar. Dengan sarung itu, Soemijat bisa menggantung di bagian belakang pedati.

Pulang sekolah HIS, malamnya, kalau tidak menghapal pelajaran yang diberikan di sekolah, sesekali Soemijat menguping Kandra, ayahnya yang sedang memberi pelajaran agama kepada murid-muridnya.

Sesungguhnya pelajaran yang diberikan kepada murid-muridnya sudah cukup tinggi. Belum cocok untuk Soemijat yang masih anak-anak. Bayangkan saja, saat usia Soemijat belum menginjak sepuluh tahun sudah mencuri dengar pelajaran Tasawuf. Tentang alam Malakut, alam Jabarut, alam Lahut dan Hahut.

 Alam Malakut adalah tahap atau derajat ruhaniyah yang digambarkan sebagai alam atau wilayah kebajikan hakiki atau sejatinya rasa jiwa. Di sanalah dunia Ruh hanya merindukan dan menghendaki Allah semata (tanzih), dan di sanalah Alam Malakut itu menjadi taman jiwa yang hakiki, dengan keindahan Asma' dan sifat Allah yang terpantul dalam hamparan Ruh kekasih Allah.

Sedangkan Alam Jabarut adalah Alam Ilahi yang menjadi hamparan Ma'rifatullah, di mana seluruh elemen satu dalam banyak dan banyak dalam satu, menjelma dalam penyucian tasbih kepada Allah semata. Dunia Rahasia Ilahi, itulah Alam Jabarut. Nah, di atas Alam Jabarut masih ada lagi Alam Lahut, Alam Hahut dan Bahut serta Ahut. (Maha Ghuyubul Ghuyub).

Kendati secara teori Soemijat hapal dan tahu, akan tetapi tidak mau melakukan tarekot seperti yang dilakukan para Santri Kandra, ayahnya. Kesempatan belajar agama Islam secara khusus justru dilakukan selepas sekolah HIS.  Soemijat pergi ke pesantren di daerah Jawa Barat.

Selepas lulus HIS, Soemijat pergi ke pesantren untuk mondok, istilah belajar agama Islam di pesantren. Tapi di pesantren tidak betah. Nampaknya sistem pendidikan yang dilakoninya kurang sesuai dengan dirinya. Jika santri berbuat salah, kerap dihukum dengan direndam di kolam yang dingin dan kotor.

Hukuman seperti itu menurut dirinya kurang tepat. Akibatnya banyak santri yang terkena penyakit  kulit karena tidak bersih. Merasa tidak tahan, dia lebih memilih menjadi santri kepada seorang kyai secara privat. Selain belajar agama juga belajar bela diri silat.

 Tapi pendidikan agama yang didapatnya tidak seperti saat di pesantren.  Oleh Kyainya, Soemijat diajak menanam Labu di pekarangan. Soemijat diperintah mencangkul dan menanam bibit labu tersebut. Begitu Labu tumbuh daunnya yang lebar, sang kyai menanyakan kepada Soemijat.

"Tadinya bijinya kecil, lalu tumbuh daun yang lebih besar dari biji itu kenapa bisa begitu?" tanya kyai pada Soemijat.

"Kehendak Allah," jawab Soemijat.

"Benar," jawab Kyai.

Hampir setiap hari Kyai hanya menanyakan kenapa bisa begini kenapa bisa begitu. Dan jika jawabnya, 'Kehendak Allah' maka sang Kyai akan membenarkan. Soemijat dinyatakan lulus mondok di kediaman sang kyai begitu labu yang ditanam siap dipanen. Begitu labu dipanen, maka momen itulah    sebagai tanda telah lulus mondok.

Banyak ilmu dan pengalaman yang didapat Soemijat saat mondok di rumah sang kyai. Ada kebiasaan yang cukup aneh jika dilihat dari kacamata masyarakat awam.  Misal Kyai hendak makan siang, jika dilihat kyai baru ada nasi dan sambal, maka itulah yang dimakan kyai. Padahal boleh jadi lauk yang lain belum dihidangkan oleh istrinya. Begitu lauk yang lain dihidangkan, tidak disentuh oleh kyai. Jadi makan hanya dengan nasi dan sambal.

Soemijat mendapat pelajaran bahwa segala sesuatu itu bersumber dari Allah. Maka jangan sekali-sekali lupa akan Allah. Itulah pelajaran yang didapat. Harus selalu bersyukur jika dapat karunia apapun bentuk karunianya. Sekiranya kurang enak, harus banyak bersabar. 

Setiap hari selalu diliputi kalau tidak bersyukur maka bersabar.  Bukan hanya itu, Soemijat juga dituntut untuk selalu berprasangka baik. Apa yang terlihat secara kasat mata belum tentu yang terjadi sebenarnya. Sabar dalam menyikapi persoalan. Berpikir sebelum bertindak. Selalu mengonfirmasi sebelum menuduh.

Belajar agama secara privat bukan terhadap satu orang kyai saja. Soemijat berpindah dari satu guru ke guru yang lain. Dan hampir semua guru Soemijat ada di daerah Jawa Barat. Pernah juga Soemijat diberi pelajaran kanuragan. Agar matanya bisa setajam singa pernah oleh gurunya matanya ditetesi jeruk purut dengan menggunakan keris.

Ujung keris diarahkan ke kornea mata Soemiyat, lalu di dekat gagang keris tersebut jeruk diperas. Sehingga air jeruk tersebut mengalir ke bawah mengikuti lekuk keris.  Perihnya luar biasa. Tapi ketika rasa perih itu sudah mencapai puncaknya malah tidak terasa perih lagi.

Seperti juga menjadi puncak petualangan Soemijat dalam belajar agama. Dia kemudian mendaftar sekolah  Hollandsche Indische Kweekschool (Kursus Normal) atau Sekolah Guru Bantu zaman Belanda.  Setingkat SMP tapi ditempuh dalam tempo empat tahun.

Mungkin karena nilai HIS menunjang, Soemijat diterima di sekolah yang letaknya di kota Purwokerto. Tapi salah satu alasan yang memungkinkan Soemijat diijinkan bisa mendaftar di sekolah yang istimewa tersebut lantaran Soemijat mendaftar sebagai anak Wedana Kalibakung. Demi kemajuan pendidikan Soemijat, Kandra merelakan anaknya diangkat anak oleh Wedana Kalibakung.  

Tentu tak ada makan siang yang gratis.   Soemijat telah di sekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi dan sangat prestise, Wedana Kalibakung berharap kelak bisa dinikahkan dengan anak perempuannya. Tapi Soemijat menolak dinikahkan dengan anak wedana tersebut.  

Sekira tahun 1926 saat usia Soemijat menginjak 14 tahun, dengan menumpang kereta api dari stasiun Balapulang pergi ke Purwokerto untuk  menuntut ilmu di Hollandsche Indische Kweekschool. Sebuah Sekolah Guru Bantu yang kelak kalau sudah lulus bisa mengajar di HIS, Sekolah Rakyat atau guru TweedeSchool.

Di sekolah Normal, begitu masyarakat saat itu menyebutnya, seluruh siswa harus tinggal di asrama. Begitu juga Soemijat berarti harus berpisah dengan kedua orangtuanya. Sejak kecil, Soemijat memang selalu ingat keluarga besarnya. Ingat adik-adiknya, ingat ayah dan ibunya. Di asrama, segala kebutuhan hidupnya ditanggung pihak pemerintah Belanda.  Dari kebutuhan  makan, pakaian hingga tempat tinggal.

 Tentu saja semua menggunakan standar Belanda. Sehingga untuk keperluan makan harus memenuhi standar gizi pada saat itu. Setiap hari harus makan telur dan daging. Tak lupa buah-buahan. Nah Soemiyat ini salah satu siswa yang hemat dan tidak mau serakah. Dia bilang kepada pihak juru masak, agar semua jatah telur yang diberikan untuknya tidak dimasak.

Tapi disimpan saja. Setiap hari setidaknya Soemiyat menyisihkan  dua butir telur ayam. Sebab setiap kali makan selalu ada menu telur goreng atau rebus. Pagi selalu ada telur rebus, susu dan roti. Soemijat hanya memakan roti dan susu, telur disimpan pihak juru masak.

Begitu musim liburan tiba, Soemijat pulang dengan membawa telur yang telah ditabungnya selama ini. Tentu jumlahnya sampai ratusan butir. Soemijat juga bisa membeli oleh-oleh yang lain. Setiap siswa dapat jatah dari sekolah berupa uang saku. Dan Soemijat salah satu siswa yang pintar mengelola keuangan. Hidupnya selalu hemat karena memikirkan keluarga di rumah. 

Banyak suka dan dukanya menuntut ilmu di sekolah Normal tersebut. Dibanding dukanya tentu lebih banyak sukanya.  Kelemahannya cuma satu, masih di bawah pemerintahan Belanda.  Yang belajar di sekolah tersebut bukan hanya masyarakat pribumi. Orang Belanda juga ada.  Sekolah tersebut menggunakan standar berbeda  antara murid pribumi dan murid Belanda. Untuk murid pribumi jika mendapat nilai enam, sudah cukup untuk persyaratan kelulusannya.

 Tapi tidak bagi murid asal Belanda. Murid asal belanda jika mendapat nilai tujuh saja, masih harus mengulang. Minimal mendapat nilai delapan baru bisa lulus. Pihak sekolah menganggap murid-murid Belanda lebih cerdas dibanding pribumi. Sehingga untuk siswa Belanda harus mendapat nilai minimal delapan untuk bisa lulus. Sekolah tersebut menggunakan pengantar bahasa Belanda. Selain juga ada yang menggunakan bahasa Jawa.

 Sebagian besar gurunya berkebangsaan Belanda. Selain ada juga guru pribumi. Di sekolah tersebut diajarkan Aljabar, Ilmu Ukur Sudut,Ilmu Ukur Ruang, Sejarah Dunia, Sejarah Belanda, Sejarah kerajaan Nusantara, Bahasa Belanda, Bahasa Jawa dan yang pasti  ilmu tentang teknik mendidik dan mengajar.  Sebab selesai lulus sekolah Normal mereka harus terjun ke masyarakat sebagai guru.

Soemijat menjadi murid kesayangan seorang  guru bernama  Dwijo Harsono. Dia mempunyai ilmu hikmah. Jika mengajar di kelas tak banyak bicara. Lebih banyak menelungkup di meja guru. Dia tidak memanggil muridnya dengan nama. Tetapi dengan nomer induk setiap siswa. Pada satu hari, Pak Dwijo, begitu Soemijat menyebutnya, memanggil salah seorang murid, dengan menyebutkan nomer induk murid tersebut.

"Ada anak dengan nomer sekian," kata Pak Guru Dwijo. "Tolong pulang ke rumah, orangtuanya sedang menunggu ada hal penting. Orangtuanya, sudah mau naik kereta kuda mau datang ke sini," kata Dwijo.

Murid yang dimaksud tak lain Soemijat. Karena mendapat perintah untuk pulang,  langsung saat itu juga Soemijat pulang ke Banjaranyar. Sungguh ajaib, apa yang  terjadi di Banjaranyar, persis seperti digambarkan Pak Dwijo sebelumnya. Ayahnya sedang hendak naik kereta kuda akan  pergi ke Purwokerto.    

Karena begitu hormat dan takdimnya terhadap Pak Dwijo, setelah lulus sekolah kelak, Soemijat menambahkan nama 'Harsono' di belakang namanya. Sehingga menjadi Soemijat Siswoharsono. Artinya Soemijat muridnya Dwijo Harsono.

Karena kehebatan ilmu hikmah yang dimiliki Dwijo Harsono ini, banyak muridnya yang penasaran ingin belajar ilmu ghoib. Ilmu batin yang bisa tahu sebelum terjadi. Para murid yang ingin belajar ilmu gaib, oleh Dwijo Harsono  diberi kertas yang di dalamnya telah tertulis sesuatu. Pak Dwijo berpesan supaya jangan dibuka. Nanti saja. Pas waktunya tepat, kalian bisa membuka pesan itu. Karena sudah berlangsung lama, para murid sudah lupa dengan kertas tersebut.

 Sampai suatu hari, pak Dwijo Harsono dikabarkan meninggal dunia. Barulah para murid yang ingin belajar ilmu gaib termasuk Soemijat, membuka kertas yang telah diberikan Dwijo Harsono. Isi pesan dalam  tulisan itu ternyata hanya sebuah tanggal, bulan dan tahun. Yaitu tanggal, bulan dan tahun kematian Dwijo Harsono.

Apa yang hendak disampaikan adalah bahwa sampai waktunya setiap manusia akan meninggal. Baik mengetahui kapan kematian tiba atau tidak, kematian itu pasti datang. Sebaiknya sebelum kematian itu datang menyiapkan diri untuk perjalanan ke sana.

Ada cerita lucu. Suatu hari, putri kepala sekolah Hollandsche Indische Kweekchool datang dari Belanda untuk liburan. Kepala sekolah Kweekschool ini memang harus Belanda. Noni Belanda ini lalu berkeliling di asrama putra siswa Kweekschool. Karena para siswa ini mahir bahasa Belanda mereka tidak kesulitan untuk menyapa dan berbincang.   Begitu Noni Belanda ini jalan menyusuri lorong asrama, para siswa menyapa dan memanggil.

"Meisje," sapa siswa Kweekschool. "Kom hier," kata para siswa itu memanggil Noni Belanda untuk datang ke salah satu kamar asrama mereka. Noni Belanda ini, lalu menghampiri dan berbasa-basi berbincang dengan bahasa Belanda. Tentang keadaan di Belanda dan perjalanan sampai ke Nusantara. Selesai ngobrol mereka lalu melakukan peluk cium.

Setelah selesai ngobrol,  dari arah kamar yang lain terdengar suara memanggil lagi Noni Belanda ini, lalu dia pun mendatangi  untuk ngobrol lagi dengan siswa yang lain. Kemudian diakhiri dengan peluk cium. Hampir semua asrama putra didatangi oleh Noni belanda yang sesungguhnya masih remaja. Tapi karena bongsor jadi terlihat dewasa. Selesai  berkeliling di asrama, Noni Belanda ini menceritakan pengalamannya  kepada ayahnya, bahwa siswa-siswa Kweekschool ini semua ramah.

"Papa, saya suka di sini. Siswa-siswa semua ramah kepada saya. Semua mau memeluk dan mencium saya," kata Noni Belanda kepada ayahnya. Karena ayahnya tahu kebiasaan anak pribumi dan adat Nusantara, dia hanya berpesan supaya anaknya tidak melakukan lagi.

"Oke lain kali jangan dilakukan lagi," kata kepala sekolah ini kepada anak perempuannya.   

Di sekolah Hollandsche Indische Kweekschool, Soemijat tergolong siswa yang berprestasi. Tapi karena hampir yang diterima di sekokah tersebut mempunyai otak encer, sehingga selisih nilai dengan yang lain pun tidak terlalu tinggi.

Dalam belajar, Soemijat sengaja memilih waktu di malam hari di saat siswa yang lain sedang terlelap tidur. Soemijat punya keyakinan di malam hari itulah segala permintaan akan mudah terkabul.

Termasuk permintaan untuk dipahamkan ilmu pengetahuan. Teman-teman Soemijat juga mempunyai cara sendiri-sendiri dalam belajar. Ada yang dengan cara membaca keras-keras pelajaran yang sedang dihapalnya. Ada juga yang dengan cara menyendiri menyingkir dari siswa-siswa yang lain.

Soemijat jika tidak sedang belajar lebih suka menguping teman-temannya yang sedang belajar. Ikut menyimak. Pernah ada satu kejadian, Soemijat lagi malas belajar. Ujian yang akan dihadapi adalah sejarah dunia tentang penaklukan Napoleon Bonaparte. Teman Soemijat ini membaca keras-keras riwayat perjalanan Napoleon. Sambil berkeridong sarung, Soemijat menyimak temannya yang sedang menghapal kisah perjalanan Napoleon.

"Sana mandi, sebentar lagi bel sekolah berbunyi," kata teman Soemijat mengingatkan Soemijat dalam bahasa Belanda.

"Iya sebentar lagi," kata Soemijat yang juga membalas dalam bahasa Belanda. 

Ujian Sejarah Dunia dimulai. Soemijat tidak belajar sedikitpun. Buku pelajaran  sama sekali  tidak disentuh. Hanya berbekal mendengar dari temannya yang menghapal dengan keras-keras. Nasib baik berpihak pada Soemijat. Seluruh materi yang dibaca keras-keras temannya keluar dalam ujian. Sementara, temannya yang sudah habis-habisan menghapal sejarah Napoleon, tidak keluar, ternyata yang ditanyakan seputar Alexander Agung.

Kekerabatan antara penghuni asrama juga sangat kental. Jika salah satu ada yang sakit, maka siswa dari kamar lain akan datang menjenguk. Motifnya macam-macam, ada yang memang ingin menjenguk ada juga yang berniat untuk perbaikan gizi.

 Kebijakan sekolah, jika ada yang sakit maka segala jenis makanan akan disediakan. Juga buah-buahan. Hampir semua buah disediakan di kamar siswa yang sedang sakit. Menu makanan berbeda dari siswa yang lain yang tidak sakit.  Gosip antar penghuni kamar biasanya seputar siapa yang sakit. Pernah ada salah satu kawan Soemijat sakit.   Soemijat dan beberapa teman lalu janjian selepas Ashar akan menjenguk.

"Sakit apa? Gimana kondisinya? " tanya teman Soemijat kepada teman lain yang sakit.

" Enggak tahu, perut rasanya mual gak doyan makan. Kepala pusing," jawab yang sedang sakit.

" Ini buah jeruknya kok gak dimakan?" tanya teman Soemijat.

"Gak doyan," jawab yang sedang sakit.

"Jeruk ini kita makan ya, daripada mubazir," pinta teman Soemijat.

"Iya makan saja," jawab yang sakit.

Lalu, dalam sekejap Soemijat dan teman-teman makan jeruk yang disediakan pihak sekolah. Dalam sekejap jeruk yang disediakan di piring ludes. Lalu teman Soemijat melirik ada makan yang lain.

"Ini rotinya kok gak dimakan," tanya teman Soemijat.

"Gak doyan," jawab yang sakit.

"Dimakan ya daripada nanti kedaluarasa," pinta teman Soemijat.

"Iya makan saja," bilang yang sedang sakit sambil merintih.

Tanpa dikomando, mereka lalu menyerbu roti. Juga menyerbu makanan yang lain. Pendeknya semua hidangan yang sengaja disiapkan untuk yang sakit ludes dilalap yang sehat.    Nanti di saat petugas asrama memeriksa  yang sedang sakit akan melihat makanan yang dihidangkan. Jika makanan yang dihidangkan habis pertanda dia sudah mulai sehat.

Satu hari giliran Soemijat yang sakit. Seperti sudah menjadi tradisi, jika ada yang sakit teman-teman yang lain pun siap menjenguk. Walaupun sesungguhnya salah satu tujuan utamanya untuk menyerbu makanannya.

Setelah berbasa-basi menanykan kabar dan kondisi penyakitnya, mereka secara otomatis menanyakan makanan.

"Jeruknya mana?" tanya teman Soemijat sambil matanya memeriksa ke sekililing kamar.

"Abis," jawab Soemijat sambil merintih kesakitan.

"Ayam gorengnya?" tanya teman Soemijat yang lain.

"Abis baru dimakan," jawab Soemijat dengan lirih.

"Telurnya?" tanya teman Somijat yang lain.

"Abis juga," jawab Soemijat.  

"Lha....," jawab teman Soemijat secara bersamaan. Mereka kecewa sebab tidak ada makanan yang tersisa. Niat memperbaiki gizi gagal. Mereka lalu pamitan dengan diiringi senyum Soemijat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun