Mohon tunggu...
Teddy Rahmansyah
Teddy Rahmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IKOM UMM

Mahasiwa IKOM UMM yang pingin bisa bikin tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sengketa Hukum Perlindungan Pers

18 Juni 2021   23:06 Diperbarui: 18 Juni 2021   23:06 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kekerasan terhadap wartawan akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia. Padahal di masa sekarang, Indonesia telah masuk ke dalam masa kebebasan pers, ditandai dengan berakhirnya masa represif pemerintahan Orde Baru. Saat ini, pers di Indonesia telah memiliki kebebasan yang sangat luas dibandingkan masa Orde Baru dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang suatu peristiwa yang sedang terjadi. Namun sayangnya, lahirnya kebebasan pers ini diikuti dengan meningkatnya ancaman keamanan terhadap pekerja pers termasuk para wartawan. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya kasus tindak kekerasan terhadap wartawan, padahal seharusnya dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang pers.

Berita mengenai tindak kekerasan memang tidak pernah ada habisnya. Selalu saja mampir di kanal berita manapun baik berita online maupun cetak. Tindak kekerasan memang tidak akan pernah bisa dibenarkan. Karena pada hakikatnya, tindak kekerasan merupakan tindakan yang melanggar hukum dan norma yang berlaku. Terlebih kekerasan terhadap pers yang mana pers memiliki payung hukum melindunginya. Meskipun profesi wartawan telah diatur dalam kode etik yang sangat ketat, serta dikukuhkan dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999, namun kekerasan terhadap wartawan terus terjadi. Data dari situs AJI menunjukan, kekerasan yang dialami wartawan di Indonesia masih tinggi.

Berkaitan dengan berita tindak kekerasan pada wartawan, berdasarkan data yang saya peroleh dari website resmi AJI (Aliansi Jurnalis Independen) disebutkan terdapat peningkatan jumlah kekerasan pada wartawan yang terjadi pada 2020. yaitu sebanyak 84 kasus kekerasan yang terjadi selama tahun 2020. sedangkan pada tahun 2019, hanya terjadi 54 kasus. Dan di 2021 ini telah terjadi 14 kasus kekerasan yang terbagi dalam bulan Maret, April, Mei, dan Juni. Angka tersebut patut untuk dipertanyakan, mengapa jumlah kekerasan pada wartawan atau pers bisa meningkat? bukankah wartawan dilindungi oleh UU Pers No. 40 Tahun 1999 pasal 8 yang berbunyi “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”?

Kategorisasi kekerasan terhadap wartawan berdasarkan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan (Buku Saku Wartawan, 2017:164), meliputi a) kekerasan fisik, yang meliputi penganiayaan ringan, penganiayaan berat, penyiksaan, penyekapan, penculikan, dan pembunuhan; b) Kekerasan non fisik, yang meliputi ancaman verbal, penghinaan, penggunaan kata-kata yang merendahkan, dan pelecehan; Perusakan peralatan liputan seperti kamera dan alat perekam; Upaya menghalangi kerja wartawan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, seperti merampas peralatan kerja wartawan atau tindakan lain yang merintangi wartawan sehingga tidak dapat memproses pekerjaan kewartawanannya

Saya mengambil salah satu berita yang bisa kita gunakan sebagai contoh. Baru baru ini telah terjadi tindak kekerasan yang melibatkan polisi dan wartawan yang menjadi korbannya. Hal ini tentu telah mencoreng citra baik dari kepolisian yang mana polisi yang seharusnya memahami dan menegakkan suatu hukum, namun justru mencederai hukum tersebut. Kronologi dari tindak kekerasan ini adalah Nurhadi (jurnalis Tempo Surabaya) saat itu sedang meminta konfirmasi kepada mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji, yang mana sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyatakan Angin sebagai tersangka dalam kasus suap pajak. Namun sayangnya saat hendak melakukan konfirmasi, ia dihadang oleh 2 orang polisi penjaga (Bripka P dan Brigpol MFS) karena dianggap telah masuk tanpa izin ke resepsi pernikahan anak Angin Prayitno Aji dan melakukan liputan disana. Alhasil Nurhadi dipaksa untuk menghapus hasil liputannya.

Sebelumnya ia telah menjelaskan bahwa ia adalah seorang wartawan yang sedang mengerjakan tugasnya sebagai jurnalis, namun sayangnya kedua oknum polisi tersebut seolah tidak mengindahkannya. Sehingga Nurhadi pun tak luput dari siksaan dari kedua oknum tersebut. Siksaan tersebut berupa tamparan, dipiting, dan pukulan di beberapa bagian tubuhnya. Dan juga ia sempat ditahan di salah satu hotel selama 2 jam. Dari peristiwa tersebut, Koordinator Advokasi Aliansi Anti-Kekerasan Terhadap Jurnalis (Fatkhul Khoir) tentu tidak tinggal diam. Beliau menuntut kedua polisi tersebut dengan beberapa pasal, yaitu pasal 170 KUHP, 335 KUHP, 351 KUHP, dan UU Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 18 Ayat 1.

Adapun bunyi dari pasal pasal tersebut adalah sebagai berikut,

Pasal 18 ayat 1 Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 170 KUHP ayat 1 Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Ayat 2 Yang bersalah diancam: 1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; 2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat; 3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

335 KUHP ayat 1 Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; 2 barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. 351 KUHP ayat 1 Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat 2 Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Ayat 3 Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan dari pasal-pasal di atas, akhirnya kedua polisi tersebut telah ditetapkan atau dijadikan sebagai tersangka.

Dari kejadian tersebut, saya berpikir bahwa masih rendah literasi masyarakat terhadap hukum. Memang, apa urgensi dari literasi hukum? Dan mengapa masyarakat Indonesia perlu mendapatkan literasi hukum? Jadi literasi hukum adalah kemampuan seseorang dalam membaca, menulis, memahami, dan melaksanakan suatu hukum yang berlaku. Dan manfaat yang dapat kita peroleh bila kita mendapatkan literasi hukum adalah kita dapat mengetahui do and don't dalam bertindak. Mengetahui apakah tindakan yang kita lakukan melanggar hukum atau tidak. Serta dapat memikirkan dampak apa yang akan terjadi bila melakukan suatu tindakan. Selain itu pihak instansi kepolisian seharusnya menghukum para anggotanya yang melakukan tindak kekerasan terhadap wartawan, dan tidak cenderung untuk melindungi para anggotanya agar kelak tidak terjadi lagi kasus serupa seperti ini. Selain untuk mencegah terulangnya kembali kasus seperti ini, penindakan terhadap para anggotanya yang melakukan pelanggaran, dapat juga mengembalikan citra para aparat penegak hukum dimata masyarakat yang belakangan ini mulai tidak percaya dengan para institusi penegak hukum di Indonesia. Upaya-upaya ini harus diimbangi dengan peran serta dari aparat hukum dan masyarakat untuk mewujudkan budaya hukum yaitu masyarakat yang sadar dan taat akan hukum, sehingga tidak terjadi lagi “main hakim” baik yang dilakukan oknum perorangan dari masyarakat maupun oknum aparat penegak hukum terhadap wartawan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun