Mohon tunggu...
Teddy Wahyudi
Teddy Wahyudi Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura

Saat ini saya bekerja sebagai seorang Bankir di slaah satu bank daerah di wilayah saya, saya cukup hobby membaca dan saat ini sedang tertarik untuk menulis. Mohon dibantu tulisan saya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

PLBN Aruk, Solusi atau Hambatan bagi Pekerja Migran Harian asal Sambas

5 Juni 2025   13:31 Diperbarui: 5 Juni 2025   13:31 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sambas -- (02/05) Sejumlah Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Tanjungpura menggelar penelitian bertajuk "Pergerakan Tenaga Kerja di Perbatasan : Studi tentang Migrasi Harian/Mingguan/Bulanan Pekerja melalui PLBN Aruk Sambas". Kegiatan yang bertempat di  Aula Kantor Kecamatan Sajingan Besar dan melibatkan wawancara langsung dengan masyarakat serta para pelaku migrasi kerja harian. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi representasi terkait mobilitas tenaga kerja lintas negara di wilayah perbatasan Indonesia -- Malaysia setelah diresmikan nya PLBN Aruk.

Pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, merupakan salah satu wujud nyata dari komitmen pemerintah untuk memperkuat kedaulatan wilayah perbatasan sekaligus membuka akses ekonomi baru. Namun, di balik kemegahan infrastruktur yang dibangun, muncul pertanyaan penting: apakah PLBN Aruk benar-benar menjadi solusi atau justru hambatan bagi para pekerja migran asal Kabupaten Sambas terutama pekerja yang bersifat ulang alik?

Sebagai Pintu Legalitas, PLBN Aruk diresmikan sebagai salah satu titik strategis pengawasan dan pelayanan lintas negara antara Indonesia dan Malaysia. Bagi masyarakat Sambas yang sebagian besar menggantungkan hidup dari bekerja sebagai buruh migran di Sarawak, kehadiran PLBN seharusnya menjadi pintu masuk legal yang memudahkan dan melindungi mereka.

PLBN menyediakan fasilitas imigrasi, bea cukai, karantina, dan pengawasan dalam satu atap. Selain itu, pemerintah pusat juga menyebut bahwa keberangkatan resmi melalui PLBN akan menekan perdagangan manusia dan eksploitasi tenaga kerja.

Dengan sistem pengawasan yang lebih baik, para pekerja migran kini memiliki peluang untuk berangkat secara sah, memperoleh perlindungan hukum, serta mendapat akses ke asuransi dan hak-hak tenaga kerja internasional. PLBN juga menawarkan layanan keimigrasian, karantina, dan bea cukai dalam satu atap, yang secara teori dapat memangkas birokrasi dan mempercepat proses keberangkatan.

Namun, tak sedikit pekerja migran yang merasa bahwa keberadaan PLBN justru menambah beban mereka. Salah satu keluhan utama adalah kompleksitas prosedur administratif yang harus dilalui. Pengurusan dokumen seperti paspor, visa kerja, dan rekomendasi dari instansi terkait dianggap terlalu berbelit dan memakan waktu.

Tak hanya itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk berangkat secara legal melalui PLBN juga dinilai tinggi, terutama bagi calon pekerja migran yang berasal dari keluarga kurang mampu. Akibatnya, banyak yang memilih jalur tidak resmi melalui "jalan tikus" meskipun berisiko ditangkap atau mengalami eksploitasi di negara tujuan.

Berdasarkan hasil diskusi Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Univesitas Tanjungpura dengan Kepala Desa Sebunga yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia dan juga warganya yang menjadi pekerja ulang alik dan mantan pekerja migran di Malaysia bahwa kondisi saat ini lebih sulit jika dibandingkan sebelum menjadi PLBN. Ketika masih dalam bentuk Pos Lintas Batas saja, memungkinkan penggunaan paspor harian bagi warga lokal namun saat ini praktik sulit untuk dilakukan.

Salah satu hambatan besar lainnya adalah minimnya sosialisasi dari pemerintah daerah maupun pusat terkait tata cara keberangkatan yang legal melalui PLBN. Masih banyak warga Sambas yang belum memahami prosedur resmi, manfaat keberangkatan legal, dan risiko jika mereka memilih jalur tidak sah.

Hal ini diperparah oleh minimnya kehadiran lembaga pendamping tenaga kerja migran di daerah perbatasan. Padahal, keberadaan lembaga seperti Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) atau perwakilan BP2MI sangat krusial untuk memberikan pendampingan dan perlindungan yang memadai. Jumlah tenaga kerja di BP2MI yang tidak sebanding dengan pekerja migran yang harus diurus kerap menjadi alasan utama minimnya sosialisasi tersebut. Kondisi juga diperparah dengan beberapa oknum agensi tenaga kerja yang "nakal" yang memberikan penjelasan tidak sempurna bagi pekerja migran.

Dilema antara Keamanan dan Aksesibilitas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun